Lentera ibarat pelita hati yang  menjadi penerang kehidupan. Namun, banyak yang tak menyadari sudah lama padam. Tetap merasa di jalan terang. Omong kosong macam apa ini?
Tiba-tiba saya ingat cerita tentang orang buta yang membawa lentera di kegelapan malam. Ketika ditabrak seseorang ia marah karena tidak sadar lenteranya telah padam.Â
Puluhan tahun yang lalu saya baca kisah ini dalam bentuk komik yang menurut saya sangat bagus dan pasti maknanya dalam. Sayang saya tidak begitu paham. Namun, ketakpahaman ini saya simpan dalam diam.Â
Sekarang ketika saya memikirkan kondisi kehidupan saat ini, spontan saya teringat kisah ini kembali. Saya interpretasi ulang dan memang  sangat cocok dengan kondisi kekinian. Banyak orang buta yang merasa dirinya pembawa terang.Â
Hati saya terbuka sedikit kini untuk memahami makna cerita yang dahulu hanya saya pikir bagus dan bermakna, tetapi maknanya apa tidak tahu apa-apa. Bingung.Â
Untuk menemukan setetes pencerahan memang adakala memerlukan sedikit kebingungan. Barangkali.Â
Saya sedikit reka ulang tentang kisah ini.Â
Saat hendak pulang malam itu si buta diberi lentera oleh sahabatnya. Dalam perjalanan di kegelapan malam itu seseorang menabraknya, sehingga membuat ia marah.Â
"Kamu buta ya, apa  tidak melihat saya?"Â
Yang menabrak tidak mau kalah membalas, "Jelas-jelas kamu yang buta, malah bilang saya yang buta."
Masih dalam kondisi marah si buta menyahut, "Jelas kamu buta. Apa kamu tidak melihat lentera yang  saya bawa?"Â
"Lentera? Lentera yang mana? Lentera kamu sudah padam," orang yang menabrak memberitahukan.Â
Perilaku manusia saat ini, banyak yang seperti  orang buta yang membawa lentera, tetapi tidak sadar lenteranya telah mati. Namun, masih merasa ia membawa terang. Sudah salah masih berani marah karena ketaktahuan.Â
Berkenaan dengan hal ini markipas, mari kita kupas.Â
Nurani Telah Padam
Bila lentera ibarat pelita hati atau nurani, hari-hari ini banyak di antara kita telah padam, sehingga tidak lagi alih-alih menjadi penerang hidup, yang ada malah mencelakakan orang lain. Sungguh sayang masih juga tak menyadari.Â
Sendiri sudah dalam kegelapan masih merasa paling benar sendiri dengan sibuk menghakimi. Sudah salah tidak mau mengakui, malah menyalahkan lagi. Yang lebih parah saling caci.Â
Di jalanan sudah biasa terjadi yang menabrak lebih galak lagi. Yang punya utang ditagih malah lebih berani memaki. Yang korupsi, malah merasa dizalimi. Para tokoh agama, justru saling debat tiada arti. Bukannya jadi teladan malah sibuk omong kosong di sana sini.Â
Bukankah hal ini dalam keseharian sedang terjadi?
Sering kali kita mendengar atau membaca atau diri sendiri yang berkata, "Nurani mereka telah mati."
Apakah kita ada introspeksi melihat ke dalam diri dan bertanya, jangan-jangan nurani sendiri yang telah padam, sehingga tidak lagi menjadi penerang hidup sendiri alih-alih orang lain?
Bukankah hal ini juga memang sering terjadi dalam hidup ini?
Kita kerap kali menilai orang lain yang salah dan bodoh, tidak sadar justru kesalahan dan kebodohan itu ada pada diri sendiri. Akan tetapi, masih berbangga dalam kesalahan dan kebodohan ini. Termasuk yang sedang menulis ini.Â
Ilmu Tak Lagi Menjadi Penuntun
Berkenaan dengan kondisi saat ini, khususnya di media sosial saban hari kita bisa menemukan orang-orang yang secara fisik normal, tetapi berjalan dalam kegelapan dan masih merasa dirinya paling pintar dan benar. Pandai menasihati hanya secara teori.Â
Orang-orang yang berpendidikan dan pintar tidak lagi menjadikan ilmu dan kepintaran sebagai penuntun menuju ke jalan yang benar. Bukan menjadikan ilmu sebagai lentera yang mencerahkan kehidupan, tetapi tidak sedikit untuk menyesatkan.Â
Mereka malah sibuk membuat berita tidak benar atau hoaks. Saling menghujat  dan menjelekkan. Media sosial dijadikan panggung pertunjukan kebodohan orang-orang yang merasa  dirinya pintar. Menyedihkan.Â
Inilah panggung dunia saat ini. Ilmu yang sejatinya menjadi penerang kegelapan dunia, malah menjadikan dunia ini semakin gelap.Â
Tidak kapok-kapok bikin hoaks. Tidak segan-segan caci maki dan saling menghujat. Tidak ada rasa malu lagi dengan ilmu yang dimiliki atau statusnya.Â
Manakala ada yang mengingatkan, malah dianggap sok pintar atau tidak tahu apa-apa karena merasa dirinya lebih atau  paling pintar, Sama seperti orang buta yang mengatakan orang lain buta. Tidak sadar telah menyalahgunakan ilmunya. Bukan untuk jalan kebenaran, tetapi jalan kesesatan.Â
Di panggung kehidupan yang bernama media sosial tiap hari kita bisa menemukan kejadian  ini secara telanjang.Â
Alangkah naif, memiliki pelita penerang berupa nurani dan ilmu, tetapi hidup di jalan kegelapan. Dunia dengan kasatmata dapat menyaksikan.Â
Lentera Ibarat Pelita Kebijaksanaan
Syukurlah dalam perjalanannya orang buta ini menemukan kembali kebijaksanaannya, sehingga menjaga lenteranya tetap menyala. Apabila ada yang menabrak ia tidak lantas marah-marah, justru ia akan bertanya, apakah lenteranya sudah padam?Â
Sejatinya demikian juga dengan kita ada waktunya untuk tetap menjaga nurani dan ilmu yang kita miliki agar bijaksana menyikapi kondisi  hidup ini. Bukan setia pada  kegelapan hidup dalam kebebalan.
Belajar dari pengalaman demi pengalaman menjadi bijaksana, bukan sebagai omong kosong  belaka.Â
Di dalam kegelapan zaman meminjam  segala kondisi mengasah pedang kebijaksanaan adalah jalan menuju hidup terang.Â
Pilihan ada pada kita atau tetap berjalan dalam kegelapan sebagai orang buta dengan lentera yang sudah padam.Â
@cermindiri, 14 Desember 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H