Kadang diam-diam spontan saya berlinang air mata dan penuh tanya. Apakah saya ini masih manusia?
Apabila masih manusia, di mana cinta kasih itu berada?
Ke mana mau mencari?
Padahal selama ini saya sering berbicara tentang cinta kasih. Bahwa manusia yang beragama harus memiliki cinta kasih. Sebab agama sejati itu adalah cinta kasih.Â
Ternyata semua memang omong kosong saja. Omong cinta kasih, ada penderitaan di depan mata pun takpeduli. Omong terus sampai lupa sudah kehilangan cinta kasih.
Beragama masih tega membenci. Tiada rasa melihat yang menderita. Apa arti beragama?Â
Setelah berlinang air mata baru timbul sedikit cinta kasih. Lantas mewujudkan dalam perbuatan. Itu pun seadanya.Â
Akhirnya berlinang air mata kembali. Merasa diri masih kurang berlatih dalam hal ini. Sadar lagi.Â
Ajaran cinta kasih universal itu adalah mencintai semua makhluk. Ada lagi pesan para bijak, melakukan hal kecil dengan cinta yang besar.
Saya pun mencoba melakukan hal kecil bermaksud menyertai dengan cinta yang besar pada makhluk yang kecil pula. Nyamuk.Â
Malam itu duduk dengan membuka baju saya siap menyerahkan tubuh ini pada nyamuk-nyamuk sebagai cara mendonorkan darah. Pasrah. Ikhlas. Membahagiakan para nyamuk.Â
Silakan nikmati sepuasnya sambil menyalurkan energi cinta kasih. Ikut bahagia melihat tubuh nyamuk-nyamuk yang mulai membesar.Â
Apakah tidak takut kena demam berdarah? Terpikir saja. Namun saya bungkam dengan mengingat bahwa cinta kasih adalah obat mujarab.Â
Saya menantang  sendiri untuk membuktikan. Apakah energi yang mengalir itu murni atau omong kosong.Â
Dalam sekejap tubuh ini sudah dikerumuni nyamuk. Puluhan ekor atau ratusan. Persisnya saya tidak tahu. Susah menghitung, yang dibelakang tidak tampak, tetapi bikin merinding.Â
Saya pikir para nyamuk juga punya semacam grup WhatsApp karena dengan cepat sekali mereka bisa berkumpul. Mungkin salah satunya menyebarkan berita ada manusia yang dengan ikhlas dan pasrah mendonorkan darah untuk para nyamuk.Â
Bagaimana rasanya digigit nyamuk puluhan atau ratusan ekor? Rasanya? Silakan buktikan sendiri.Â
Karena saya juga pernah melakukan semacam riset sederhana di kamar sendiri. Sengaja membiarkan nyamuk-nyamuk berkeliaran di kamar.Â
Setiap meditasi saya saluran energi cinta kasih. Benar saja saya bebas dari gigitan. Saya tersenyum, berhasil.Â
Namun berpikir lagi, apa ini bukan sama saja membiarkan mereka mati kelaparan.Â
Bagaimana ini?Â
Hidup memang selalu menghadirkan tanya dan dilema. Semua untuk menguji tingkat kearifan manusia. Semakin bijaksana atau malah tersesat dalam kebijaksanaan. Yang lebih celaka itu masalah lupa dan kehilangan kesadaran.
Seperti hal saya melatih cinta kasih agar dapat menyayangi semua makhluk  hidup. Seekor nyamuk sekalipun.Â
Di lain waktu tangan terasa gatal, spontan menepuk. Berdarah tangan. Artinya ada nyamuk yang mati.Â
Sering juga lupa karena melihat nyamuk beterbangan tidak sadar ambil semprotan anti nyamuk, mereka malah pada terjengkang kaku akhirnya. Cinta kasih jadi cerita.Â
Hidup memang seperti ini, tahu ini baik, itu tidak baik  dilakukan. Nyatanya tetap melakukan yang tidak baik.Â
Hati ingin mengasihi, pikiran mendahului dengan tindakan. Yang terjadi hanya penyesalan. Demikian berulang kali terjadi.Â
Mengalami hal ini paling hanya bisa menghibur diri. Yang penting sudah niat mau jadi orang baik dan mengasihi.Â
Ini yang dikatakan menjadi bijak dalam ketersesatan. Bagaimana bila niat baik saja sepanjang hidup, tetapi kebaikan itu tidak dilakukan?Â
Hanya penyesalan datang silih berganti. Apakah harus menyesal sampai  di alam kubur? Ngeri.Â
@refleksihati 09 September 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H