Amelia, nama paling indah di dunia, tersimpan di dasar hati sejak masa yang tak tertera. Sejak pandangan takterduga matamu menggetarkan jiwa yang berbuah asmara.Â
Bagaikan omong kosong saja, tetapi ini nyata. Dalam urusan cinta memang sulit pakai logika. Cinta bisa bagaikan jilatan api yang seketika mengobarkan hati yang membeku. Bagai gempa tanpa bisa dicegah untuk merasakan getarannya.Â
Amelia, walaupun aku lupa hari apa dan tanggal berapa pertemuan  pertama, tetapi hari itu adalah pertama kali aku terpanah oleh sorot matamu yang memesona. Ini yang takkan terlupa karena telah terpahat  di dalam jiwa.Â
Engkau adalah bidadari yang dikirim dari surga. Ini yang kupercaya. Bertemu denganmu tak dapat aku menunda rasa bahagia. Semua mengalir demikian saja.Â
Aku bukanlah lelaki yang pandai menjual kata-kata. Karena fakta yang yang menjadi saksinya dan aku takbisa lari menyembunyikan diri untuk berdusta pada dunia. Aku jatuh cinta.
Amelia, sulit untuk percaya bahwa sampai hari ini, aroma wangi tubuh dan senyumanmu  masih terasa. Wajah jelitamu selalu menghiasi layar mataku. Bila ibarat paket internet perasaan cintaku adalah tak terbatas kuotanya.Â
Apabila ibarat kamera bidikan  fokus padamu saja. Tak berkedip sedikit pun bagai CCTV yang mengawasi setiap area. Aku mengatakan ini bukan mengutip dari syair para pujangga.Â
Aku takkan pernah hendak membandingkan senyummu dengan senyum Monalisa yang melegenda, sebab engkau terlalu istimewa untuk dibandingkan dengan siapa juga, Amelia.
Sekali lagi  memang sulit mengukur  cinta dengan memakai logika. Bahkan aku rela dianggap gila oleh pengakuan ini. Tak apa.Â
Tubuh mungil lincah perilaku dewasa dengan kata-kata tertata. Rambut hitam lurus sebahu menjadi mahkota  semakin menjadi aura seorang wanita istimewa. Aku semakin terpesona.Â
Namun, apakah engkau merasakan hal yang sama? Ini yang jadi tanda tanya. Tak pernah ada jawaban yang kuterima, tetapi sinyal hatimu memberikan tanda yang menjadi asa. Semakin penasaran saja.Â
Apakah cinta tak harus memiliki? Aku takingin ini terjadi. Dalam mimpi-mimpi aku telah bersanding denganmu sebagai tanda jadi yang disiarkan televisi seantero negeri. Namanya juga mimpi. Apapun bisa terjadi. Aku tak berharap semua  ini hanya terjadi  dalam mimpi.Â
Semakin hari rasa itu semakin jadi rasa ini. Ingin kududuk bersanding denganmu setiap hari. Mendekapmu dengan romantis bak adegan yang ada di drama Korea sambil menikmati alunan lagu "Cinta Suci" suara lembut dari Teresa Teng yang masih melekat di hati.Â
Dahulu aku menertawakan mereka yang jatuh cinta karena  berperilaku aneh,  berlebihan, dan mengungkapkan dengan kata-kata yang bikin geli.Â
Seperti: Tahi kucing serasa coklat; belahlah dadaku akan kaulihat namamu terukir di sana; satu bantal dua kepala; makan sepiring berdua; lautan kan kuseberangi gunung pun kan kudaki; satu kuburan berdua kalau mati.
Kenyataannya hari ini aku yang mengalami sendiri. Hukum karma terjadi. Semua gara-gara Amelia, sang bidadari. Oh, bukan. Gara-gara diriku yang tak tahu diri.Â
Jatuh cinta membuat diriku tampak bodoh, ya? Apa peduli kata dunia? Karena aku hanya peduli pada Amelia, sang pujaan hati. Walaupun seakan baru bertepuk sebelah tangan saja karena Amelia belum pernah memberikan jawaban pasti.Â
Di atas bahagia ada derita menyiksa oleh kisah cinta yang masih misteri.Â
Cinta memang indah menghadirkan rasa berbunga-bunga laksana berada di surga. Namun cinta juga menyiksa sepanjang masa.
Ingat yang dikatakan Cu Pat Kay dalam kisah "Perjalanan ke Barat" Â yang melegenda.Â
"Sejak dahulu begitulah cinta, penderitaan tiada akhirnya."
Seorang panglima gagah perkasa di kayangan yang harus menerima hukuman dari raja langit dalam 1000 kelahiran akan menderita  karena urusan cinta.Â
Semua gara-gara jatuh cinta pada pandangan pertama  sehingga berbuat di luar logika.Â
Pat Kay,  sang panglima bernama Tian Feng  semasa masih di langit terpanah asmara  oleh dewi bulan, Chang E yang cantik jelita. Bukan berbalas cinta, tetapi justru mendapat hukuman turun ke dunia untuk menderita.Â
Derita tiada akhir karena cinta. Duh, aku yang beberapa saat saja menunggu jawaban Amelia sudah merasa  sangat menyiksa. Tak terbayang bila harus sampai 1000 kelahiran menderita karena cinta.Â
Hidup tiada yang dapat memastikan apa yang akan terjadi. Misteri selalu menyelimuti. Yang tidak diharapkan sekali pun bisa mengalami. Seperti berita hari ini. Amelia telah pergi.
Kenapa bisa begini? Bagai cerita sinetron di televisi yang sering kali sulit dimengerti. Kini aku alami sendiri.Â
Derita yang ada masih menyelimuti, kini ada duka yang menyayat hati. Mengapa harus terjadi? Mengapa dia yang harus pergi?Â
Aku kehilangan akal sehat untuk mempertanyakan takdir Ilahi.
Cinta yang pertama kali bersemi belum berbuah sudah harus mati. Seketika hatiku membeku, tetapi air mata mengalir tiada henti.Â
Waktu terlalu singkat dalam kebersamaan ini dan aku tak dapat mengerti akan jawaban yang pasti.Â
Amelia, engkau telah pergi. Izinkan cintaku hanya selalu untukmu sampai mati. Aku takkan jatuh cinta lagi. Cukup hanya padamu saja, janji. Biarlah semesta dengan segala isinya menjadi saksi.Â
Beginilah bila seluruh rasa menguasai. Kata-kata mengalir bagai puisi. Tak pernah berpikir lagi. Bagai suara hati, tetapi juga bagai ilusi.
Apakah seiring waktu akan menjadi bukti atau hanya omong kosong, janji tinggal janji?Â
Sejak dahulu, bukan hanya penderitaan tiada akhir karena cinta, tiada akhir pula berdusta.
Tunggu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H