Berdasarkan logika sendiri saja dengan asumsi tempat yang bahaya itu justru akan menjadi tempat yang aman kalau berani berada di sana.Â
Bukan hanya ketika berada di terminal yang ada di Jakarta, tetapi saat berada di Serang, Bandung, atau sewaktu ke Cirebon. Baik pada siang hari maupun ketika tiba menjelang tengah malam jurus ini selalu saya pakai.Â
Ketika berada di terminal ada waktunya tidak bisa langsung mendapatkan bus dengan jurusan yang menjadi tujuan. Namun  tak jarang harus menunggu cukup lama sampai bus itu.datang. Kadang pun sudah penuh sesak.Â
Nah, pada kesempatan ini jurus yang selalu saya pakai adalah nongkrong dengan preman-preman yang ada di terminal dengan percaya diri.
Pada kesempatan itu saya gunakan sekadar basa-basi atau tanya-tanya soal waktu kedatangan bus. Tak jarang malah saya ditawari rokok. Enak, toh? Mungkin dengan berani bergabung bersama, mereka malah merasa segan. Bisa jadi mereka berpikir saya preman juga.Â
Apabila kita takut-takut atau berusaha menghindari dari mereka justru akan menjadi sasaran empuk.Â
Dengan saya berani nongkrong bersama mereka, ketika  temannya ada  yang melihat saya malah dikira teman mereka juga  sehingga  saya saya naik bus  takkan berani diganggu. Benar, toh? Strategi ciamik, kan? Buktinya memang saya aman saja selama ini.Â
Apakah jurus yang saya pakai akan selalu berhasil juga bila orang lain yang menerapkan?Â
Tentu saya tidak berani menjamin, mungkin saya berhasil karena tampang saya lebih preman dari mereka. Jangan-jangan juga karena tampang saya malah lebih mirip copet?
Jadi, kebenaran pengalaman seseorang belum tentu akan menjadi kebenaran pula bagi orang lain. Dalam hal ini perlu selalu bijak menyikapi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H