Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Demi Kejar Tayang, Omong Kosong demi Berbagi

5 Mei 2021   12:38 Diperbarui: 5 Mei 2021   20:39 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katedrarajawen  _Membaca beberapa tulisan lama saya ada merasa kagum dengan diri sendiri dan juga penuh tanya. Kenapa bisa menulis seperti ini? Karena bila harus menulis kembali tak terpikir bisa lagi. 

Namun saya juga merasa malu sendiri karena masih banyak sekali kesalahan dalam menulis kata atau salah ketik.  Bahkan ada yang fatal, sebab maknanya bertolak belakang. 

Karena ada yang memberikan komentar di tulisan yang sudah lama, saya membaca lagi tulisan tersebut kembali.  Nah, pada saat membaca itu bertemulah  kesalahan demi kesalahan penulisan. Kenapa bisa separah ini? Memalukan. 

Mengapa bisa terjadi? 

Tatkala menulis saya berpikir ini untuk berbagi, ternyata di balik pikiran ada ambisi tersembunyi dan terus ditutupi. Yakni menulis demi sekadar memuaskan ego dengan cara  kejar tayang. 

Tepat sekali. Kejar tayang untuk memuaskan keinginan sendiri. Dalam sehari bisa menerbitkan artikel  tiga sampai tujuh atau delapan kali. Tidak heran ada yang menyindir ini seperti minum obat saja, tetapi tidak sadar. Karena selalu berlindung demi niat baik untuk berbagi. 

Saya  merasa bangga dan tidak jengah, padahal orang lain mungkin sudah ogah membaca.  Bahkan bisa jadi  diam-diam muak  sehari harus melihat  beberapa kali kemunculan nama saya. 

Demi kejar tayang itu saya harus terus menulis. Hal yang receh pun ditulis. Setelah selesai, lalu hanya baca sekilas langsung tayang seakan mengejar setoran. Soal kualitas belakangan. Yang penting  tayang dan segera mendapat banyak pembaca. Muncul di kolom khusus. Ada kepuasan tersendiri. Kuasa ego terpenuhi. 

Efeknya baru terasa sekarang. Menyesal pun apa daya tiada guna. Ada perasaan bersalah, walaupun waktu itu mendapat ganjaran sebagai penulis teraktif mengalahkan para senior. Makin besar kepala. Hidung pun mengembang. 

Saat itu masih ingat bila ada yang menegur atau mengingatkan langsung taksenang alih-alih berterima kasih. Yang ada timbul pikiran negatif. Terlalu. Namun semua itu adalah masa lalu. 

Ada orang bijak  berkata, 

"Jangan jadikan masa lalu sekadar kenangan. Apalagi beban, tetapi jadikan sebagai pengalaman dan pembelajaran. Jadilah pemelajar dari masa lalu sehingga hari ini menjadi  terpelajar." 

Mengingat juga kata-kata Pak Khrisna Pabichara--Kompasianer dan pemengaruh bahasa Indonesia--bahwa sebelum menerbitkan sebuah tulisan sepantasnya membaca berulang-ulang lagi. Bukan hanya untuk mengedit kesalahan kata, tetapi sangat berguna untuk menemukan kesesuaian kata sehingga terasa enak dibaca. 

Ibarat alunan musik, bila kata-kata yang terangkai ada iramanya akan terasa enak dibaca dan menggugah rasa.  Apalagi dalam menulis puisi. Efeknya akan terasa sekali. Membuai hati. 

Namanya proses, pasti masih saja ada kekurangan atau kesalahan. Namun sudah  lumayan ada perubahan. Karena dalam proses menulis tak jarang harus membuka kamus atau bertanya bila ada kata-kata yang masih kurang paham. Walaupun tetap masih jauh dari kata sempurna. 

Dari pengalaman menulis kejar tayang di masa lalu ternyata  niat berbagi porsinya kecil sekali. Lebih besar porsi ambisi yang tersembunyi. 

Apa itu selain memuaskan si ego yang menari-nari? Biarlah ia sembunyi di tempatnya tersendiri. Nanti dibahas pada bagian lain atau mengungkapkan secara sembunyi-sembunyi. 

Yang jelas efek menulis kejar tayang itu lebih mengejar kuantitas daripada kualitas. Ini pengakuan pribadi. Jadi, tentu tidak berlaku untuk semuanya. Saya percaya banyak penulis hebat yang bisa menulis kejar tayang dengan kualitas yang terjaga. Tidak seperti saya, demi kejar tayang, kualitas urusan belakang. 

Demi kejar tayang juga membuat saya tidak sempat untuk belajar karena merasa sudah menulis dengan benar sehingga tidak menyadari masih banyak sekali kesalahan. Bahkan untuk hal yang sepele sekali dalam hal menulis tanda baca atau kata. 

Misalnya masih menulis tanda tanya diakhiri dengan tanda titik (?.). Menulis kata "mengubah" dengan "merubah". Seharusnya menulis "bergeming" malah jadi "tak bergeming".  

Yang paling sederhana juga saya masih lelet membedakan  "ke" dan "di" sebagai kata depan atau imbuhan. Tak heran sering salah menulis "kemana" dan "dirumah". Bingung antara "dipenjara" sebagai kondisi dengan "di penjara" sebagai posisi. 

Masih banyak lagi. Malu. Membuka aib masa sendiri. Namun memang hal ini harus diakui. 

Sebenarnya proses menulis adalah membuat kita sambil belajar lebih memahami dan menguasai. 

Sering kita merasa sudah banyak tahu, tetapi kenyataannya masih banyak yang belum kita tahu. Yang jadi masalah adalah sudah merasa tidak banyak tahu, tetapi tidak mau belajar tahu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun