"Jangan jadikan masa lalu sekadar kenangan. Apalagi beban, tetapi jadikan sebagai pengalaman dan pembelajaran. Jadilah pemelajar dari masa lalu sehingga hari ini menjadi  terpelajar."Â
Mengingat juga kata-kata Pak Khrisna Pabichara--Kompasianer dan pemengaruh bahasa Indonesia--bahwa sebelum menerbitkan sebuah tulisan sepantasnya membaca berulang-ulang lagi. Bukan hanya untuk mengedit kesalahan kata, tetapi sangat berguna untuk menemukan kesesuaian kata sehingga terasa enak dibaca.Â
Ibarat alunan musik, bila kata-kata yang terangkai ada iramanya akan terasa enak dibaca dan menggugah rasa. Â Apalagi dalam menulis puisi. Efeknya akan terasa sekali. Membuai hati.Â
Namanya proses, pasti masih saja ada kekurangan atau kesalahan. Namun sudah  lumayan ada perubahan. Karena dalam proses menulis tak jarang harus membuka kamus atau bertanya bila ada kata-kata yang masih kurang paham. Walaupun tetap masih jauh dari kata sempurna.Â
Dari pengalaman menulis kejar tayang di masa lalu ternyata  niat berbagi porsinya kecil sekali. Lebih besar porsi ambisi yang tersembunyi.Â
Apa itu selain memuaskan si ego yang menari-nari? Biarlah ia sembunyi di tempatnya tersendiri. Nanti dibahas pada bagian lain atau mengungkapkan secara sembunyi-sembunyi.Â
Yang jelas efek menulis kejar tayang itu lebih mengejar kuantitas daripada kualitas. Ini pengakuan pribadi. Jadi, tentu tidak berlaku untuk semuanya. Saya percaya banyak penulis hebat yang bisa menulis kejar tayang dengan kualitas yang terjaga. Tidak seperti saya, demi kejar tayang, kualitas urusan belakang.Â
Demi kejar tayang juga membuat saya tidak sempat untuk belajar karena merasa sudah menulis dengan benar sehingga tidak menyadari masih banyak sekali kesalahan. Bahkan untuk hal yang sepele sekali dalam hal menulis tanda baca atau kata.Â
Misalnya masih menulis tanda tanya diakhiri dengan tanda titik (?.). Menulis kata "mengubah" dengan "merubah". Seharusnya menulis "bergeming" malah jadi "tak bergeming". Â
Yang paling sederhana juga saya masih lelet membedakan  "ke" dan "di" sebagai kata depan atau imbuhan. Tak heran sering salah menulis "kemana" dan "dirumah". Bingung antara "dipenjara" sebagai kondisi dengan "di penjara" sebagai posisi.Â
Masih banyak lagi. Malu. Membuka aib masa sendiri. Namun memang hal ini harus diakui.Â