"Sifat saya tergantung sifat Anda ke saya."
Ini status seorang teman di WhatsApp. Saya tersenyum membaca status tersebut. Dalam hati bergumam, "Gini amat nih orang." Kayak bunglon dong.Â
Saya mencoba menafsirkan sifat orang seperti ini. Kalau mau dibilang berpendirian ya tidak juga. Dibilang tidak berpendirian, iya juga. Bingung? Sama.Â
Yang ada di otak saya orang ini sifatnya tidak bagus. Bukan orang yang benar-benar baik. Karena orang lain bersikap baik padanya maka  ia akan bersikap baik. Apa baiknya?Â
Sebaliknya bila orang lain bersikap tidak baik pasti ia akan membalas dengan hal yang sama. Dalam hal ini ibarat kamu memukul saya sekali, saya akan memukulmu sekali pula. Bila belum puas mungkin akan minta bonus memukul sekali lagi. Tidak mau rugi. Tidak punya kasih. Perhitungan.Â
Ajaran para nabi tidak seperti ini, bukan? Yang benar itu, sekalipun ia musuh dan menyakiti harus tetap bersikap baik padanya. Mengasihi. Tidak marah. Apalagi sampai dendam.Â
Saya yakin teman saya ini pasti beragama. Orang beragama tentunya tidak boleh hidup dengan prinsip seperti ini.Â
Jadi, pantas saya tersenyum dengan status yang sungguh tidak berkelas ini. Sama saja dengan orang yang tidak punya agama.Â
Coba statusnya seperti ini: Sifat saya tidak tergantung sifat Anda, bagaimanapun sikap Anda, saya akan tetap bersikap baik pada Anda. Keren, bukan? Inspiratif sekali. Siapa dulu dong?
Idealnya adalah begitu. Bagaimanapun sikap orang lain terhadap diri kita maka tetap harus baik padanya. Hal ini akan menunjukkan karakter diri kita yang sesungguhnya sebagai manusia yang berakhlak.Â
Ini yang selalu terpikir dalam otak saya. Namun akhirnya setelah saya renungkan berulang kali kembali saya tersenyum. Bahkan lebih lebar senyuman saya.Â
Kenapa?Â
Karena status yang dipasang di whatsApp itu ternyata persis sekali dengan sifat saya sendiri. Itu saya banget. Tidak mungkin saya mengelak lagi.Â
Bukankah demikian dalam banyak hal? Kita sering menertawakan tingkah laku orang lain. Meremehkan mereka dengan sifat yang tidak baik, tetapi sifat mereka itu justru tak berbeda dengan sifat diri kita sendiri. Mungkin malah lebih buruk lagi.Â
Coba pikir-pikir. Kalau untuk saya sendiri sekarang tak perlu memikirkan lagi, malah menertawakan dengan kencang sekali. Karena otak saya selama ini terlalu sibuk digunakan untuk melihat kesalahan  orang lain sehingga tidak punya waktu melihat kesalahan sendiri. Egois.
Bisa jadi terlalu sering mengingat untuk menertawakan orang lain sampai lupa menertawakan diri sendiri. Terlalu banyak waktu  menghakimi orang lain sehingga tidak punya waktu menghakimi tingkah laku sendiri.Â
@cermindiri 10|01|21Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H