Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cermin Mentertawakan Diri (1): Yang Benar Itu Mentertawakan

27 Desember 2020   14:50 Diperbarui: 28 Desember 2020   00:38 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katedrarajawen _Kerap kali saya  berpikir dan yakin sudah benar dalam melakukan suatu hal, ternyata itu adalah kesalahan setelah mengetahui kebenarannya.

Saat asyik menulis artikel Ayo Tertawa, Kita Semua Bisa Tertawa, saya ada menuliskan satu kata menertawakan. Saya yakin kata  ini ejaannya sudah pasti benar. Pas dan nyaman juga kalau mengucapkannya. Tidak ada yang janggal.

Namun tiba-tiba timbul keinginan untuk mengecek kebenarannya di KBBI. Alamak, ternyata tidak muncul kata menertawakan. Lalu saya ketik mentertawakan. Nah, ternyata ada. Jadi, jelas  yang benar adalah  mentertawakan  bukan menertawakan. 

Pada kejadian lain juga saya suka menulis kata mawas diri. Selama ini tidak ada masalah dan baik-baik saja. Artinya saya anggap ini adalah penulisan yang sudah  benar. Tidak pernah meragukan. 

Bila sudah benar mawas diri tentu tidak ada usaha untuk introspeksi. Akhirnya, tidak sengaja  saya menemukan ternyata penulisan mawas diri dengan maksud koreksi diri atau introspeksi adalah salah. Yang benar itu adalah wawas diri. 

Kemudian hal ini dikuatkan dari ilmu yang saya dapat di kelas menulis bersama Khrisna Pabichara, seorang pemengaruh Bahasa Indonesia yang diadakan Komunitas Kompasianer Penulis Berbalas. 

Mawas sendiri artinya orang utan. Bedakan dengan orang yang tinggal di hutan ya. Maksudnya orang utan itu jelas sejenis binatang yang masih bersaudara dengan kera. 

Pantas, selama ini saya tidak berubah juga walaupun sudah ratusan kali mawas diri. Karena tidak sadar sudah mengidentikkan diri sebagai orang utan dengan menulis mawas diri. Jelas tidak mungkin orang utan berubah jadi manusia, bukan?

Di lain waktu saya juga suka menulis kalimat kita harus meneladani para nabi. Tidak ada yang salah saya pikir. Karena saya juga sering kali  membaca atau mendengar kalimat yang kurang lebih seperti ini dari orang lain, bahkan penceramah terkenal. 

Ternyata selama ini saya dan orang yang berbicara atau mengatakan demikian sudah kurang ajar masih tidak menyadari. 

Kenapa? Karena kata meneladani ini  artinya memberi teladan. Jadi, kalimat kita harus meneladani para nabi artinya kita yang memberi teladan kepada para nabi. Keterlaluan, bukan? Benar-benar harus bertobat. 

Sepele, tetapi sangat fatal kesalahannya. Padahal selama ini sudah merasa  tidak ada yang salah. Karena yang benar  seharusnya kata yang digunakan adalah meneladan yang maknanya meniru atau mencontoh. 

Dalam keseharian juga saya terbiasa memilih  makan nasi dahulu  baru kemudian makan buah untuk cuci mulut. Mengapa? Karena saya berpikir ini adalah cara yang benar dan tidak ada yang salah  dengan kebiasaan ini. Masuk akal pula. 

Saya tidak merasa ada yang  salah dengan ritual yang sudah menahun ini. Saya  tidak menyadari bahwa yang benar itu lebih baik makan buah dahulu baru makan nasi sehingga buah yang dimakan lebih memberikan manfaat.  Tentu hal ini saya tahu kebenarannya setelah membaca berbagai referensi. 

Hal sederhana juga adalah selama ini dengan memberi saya merasa sudah baik. Apalagi seperti sudah didokrin dengan semakin banyak memberi uang maka akan semakin banyak menerima uang pula. 

Jadi, di otak ini sudah tersimpan dengan baik memori hari ini saya akan memberi 10 ribu rupiah, besok Tuhan pasti akan mengganti 100 ribu rupiah. Ketika saya tidak mendapatkan balasan seperti yang dimaksud lantas kecewa. 

Saya tidak sadar balasan itu tidak harus dalam nilai rupiah. Bisa dalam bentuk rezeki yang lain yang nilainya takbisa dibandingkan dengan uang. Inilah kebodohan kita, saya maksudnya,  memahami kebenaran dalam hal berbuat baik. 

Pernah berdebat keras dengan seseorang sebab merasa sudah benar? Saya pernah, sampai menjurus pakai sumpah segala. Ya, karena yakin tidak melakukan kesalahan yang dituduhkan. 

Suatu hari istri membutuhkan suatu barang  dan menanyakan keberadaannya. Saya dengan yakin menjawab tidak pernah membawa ke tempat kerja. 

Istri memastikan pasti dibawa oleh saya. Karena sudah mencari seisi rumah tidak ada. Saya juga memastikan tidak pernah membawa barang itu. Ya sudah, secara guyon saya mengatakan paling barang itu diambil hantu. 

Tidak lama kemudian memang sudah takdirnya, tanpa sengaja saya membuka ember yang ada  di kamar. Ternyata barang yang dicari-cari istri itu berada di dalamnya. 

Saya sendiri juga tak habis pikir. Mengapa barang itu berada di situ. Benar berarti ada hantu yang mengambil sepertinya. Ya, jelas hantunya itu pasti saya. Tidak mungkin orang lain.

@cermindiri 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun