Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cermin Mentertawakan Diri (1): Yang Benar Itu Mentertawakan

27 Desember 2020   14:50 Diperbarui: 28 Desember 2020   00:38 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepele, tetapi sangat fatal kesalahannya. Padahal selama ini sudah merasa  tidak ada yang salah. Karena yang benar  seharusnya kata yang digunakan adalah meneladan yang maknanya meniru atau mencontoh. 

Dalam keseharian juga saya terbiasa memilih  makan nasi dahulu  baru kemudian makan buah untuk cuci mulut. Mengapa? Karena saya berpikir ini adalah cara yang benar dan tidak ada yang salah  dengan kebiasaan ini. Masuk akal pula. 

Saya tidak merasa ada yang  salah dengan ritual yang sudah menahun ini. Saya  tidak menyadari bahwa yang benar itu lebih baik makan buah dahulu baru makan nasi sehingga buah yang dimakan lebih memberikan manfaat.  Tentu hal ini saya tahu kebenarannya setelah membaca berbagai referensi. 

Hal sederhana juga adalah selama ini dengan memberi saya merasa sudah baik. Apalagi seperti sudah didokrin dengan semakin banyak memberi uang maka akan semakin banyak menerima uang pula. 

Jadi, di otak ini sudah tersimpan dengan baik memori hari ini saya akan memberi 10 ribu rupiah, besok Tuhan pasti akan mengganti 100 ribu rupiah. Ketika saya tidak mendapatkan balasan seperti yang dimaksud lantas kecewa. 

Saya tidak sadar balasan itu tidak harus dalam nilai rupiah. Bisa dalam bentuk rezeki yang lain yang nilainya takbisa dibandingkan dengan uang. Inilah kebodohan kita, saya maksudnya,  memahami kebenaran dalam hal berbuat baik. 

Pernah berdebat keras dengan seseorang sebab merasa sudah benar? Saya pernah, sampai menjurus pakai sumpah segala. Ya, karena yakin tidak melakukan kesalahan yang dituduhkan. 

Suatu hari istri membutuhkan suatu barang  dan menanyakan keberadaannya. Saya dengan yakin menjawab tidak pernah membawa ke tempat kerja. 

Istri memastikan pasti dibawa oleh saya. Karena sudah mencari seisi rumah tidak ada. Saya juga memastikan tidak pernah membawa barang itu. Ya sudah, secara guyon saya mengatakan paling barang itu diambil hantu. 

Tidak lama kemudian memang sudah takdirnya, tanpa sengaja saya membuka ember yang ada  di kamar. Ternyata barang yang dicari-cari istri itu berada di dalamnya. 

Saya sendiri juga tak habis pikir. Mengapa barang itu berada di situ. Benar berarti ada hantu yang mengambil sepertinya. Ya, jelas hantunya itu pasti saya. Tidak mungkin orang lain.

@cermindiri 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun