Ketika bisa saling berbagi kepada sesama tanpa melihat identitas, itulah sejatinya kebahagiaan akan tercipta. Sekat-sekat perbedaan yang ada justru membuat kita tidak bisa lepas menikmati kebahagiaan.
Apa yang saya tulis ini memang berlangsung sudah lama. Masa belum seperti saat ini yang begitu mudahnya menyebarkan apa yang kita lakukan melalui media sosial. Namun apa yang terjadi tak pernah  mudah untuk melupakannya. Karena rasa bahagia yang ada masih melekat kuat dalam ingatan dan menggetarkan jiwa. Menjadi prasasti kehidupan.Â
Saat itu saya masih muda dan aktif di pelayanan untuk membimbing anak-anak remaja. Berbagai kegiatan baik dalam bidang keagamaan maupun sosial kami lakukan untuk membentuk karakter mereka. Salah satu kegiatan yang kami lakukan adalah berkunjung  ke Panti Asuhan untuk berbagi, memberi, sekaligus menyantuni tanpa melihat perbedaan.Â
Oleh sebab itu, selain membawa berbagai bingkisan dan dana, kami juga menyiapkan acara untuk menghibur adik-adik yang pasti membutuhkan. Selain untuk menghibur adalah untuk mempererat tali persaudaraan sebagai sesama manusia. Tidak melekat pada sekat yang ada.Â
Ketika kami pertama kali datang pun kami sudah disambut dengan sukacita. Wajah polos anak-anak yatim piatu mereka berbaris dengan rapinya. Begitu pula dengan pengurus dan pengasuh yang ada menyambut dengan senyum mengembang. Intinya pada hari itu semua berbahagia.Â
Walau kami secara nyata berbeda baik  agama maupun suku, tetapi kami tulus datang sebagai saudara, maka sambutan yang ada pun penuh dengan rasa persaudaraan. Tidak ada sekat yang menjadi penghalang dalam cinta kasih sebagai sesama manusia.Â
Bagi saya setiap tawa mereka saya ikut merasakan kebahagiaan itu. Mereka begitu antusias. Bermain dengan polosnya. Lupa akan kondisi mereka sebelumnya.Â
Dalam sekejap semua merasakan kegembiraan. Kami datang memang dengan niat untuk berbagi sukacita, memberi dan menyantuni apa yang kami bisa dan mampu sebagai rasa peduli. Selain itu hendak mengajarkan secara langsung kepada para remaja dalam hal toleransi. Jangan menjadikan perbedaan sebagai persoalan, tetapi sebagai keindahan.Â
Saya bisa pula merasakan kesan begitu mendalam walau dalam waktu yang singkat kami bersama. Apalagi bagi mereka, anak-anak yatim piatu yang kehilangan kedua orang tua mereka sejak kecil. Pasti ada kesan yang mendalam atas kehadiran kami memberikan penghiburan dan perhatian  sebagai saudara.Â
Hal ini terlihat jelas  saat menjelang perpisahan. Wajah mereka yang tadinya ceria segera berubah jadi muram, bahkan ada yang matanya berkaca-kaca. Terlalu berat nian perpisahan ini. Ada pula yang tangannya saling berpegang erat seakan tak hendak berpisah. Ada yang saling berpelukan. Seakan hendak mengatakan jangan tinggalkan kami. Ayo kita bermain lagi dan lagi.Â
Saya perhatikan semua momen yang ada dengan seksama. Mencatat dalam prasasti jiwa. Diam-diam di pojok hati saya menyimpan kesan yang membahagiakan ini sambil menyeka air mata. Membayangkan betapa indah dan bahagianya bila dunia kecil yang ada di depan mata terwujud dalam dunia secara keseluruhan.Â
Kala perbedaan nyata yang ada di depan mata berubah dalam persamaan untuk berbagi dan peduli saling mengasihi. Merangkul perbedaan yang ada dalam persamaan visi dan misi hidup di dunia akan terciptanya saling pengertian yang menghadirkan damai. Semua itu dapat kita tanamkan di dalam benak anak-anak sejak dini. Itu dimulai dari diri kita sendiri.Â
@cerminperistiwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H