Katedrarajawen_ Pujian itu menyenangkan. Kritikan itu menyebalkan. Begitu yang kita persepsikan. Tertanam dalam ingatan.Â
Atas pujian kita bisa dengan enteng dan sukarela mengucapkan terima kasih. Senyum mengembang hati berbunga-bunga.Â
Namun atas kritikan sikap kita sebaliknya. Mata mendelik, perasaan tak nyaman. Serasa terserang demam. Kita anggap yang mengkritik itu iri dan dengki. Hadir rasa benci.Â
Begitu, bukan?Â
Hari ini saya berketetapan hati, bahwa baik pujian maupun kritikan itu sama-sama menakutkan, tetapi juga sama-sama menyenangkan. Khususnya di dalam aksi menulis di media sosial.Â
Karena apa?Â
Siap Menerima Segala KemungkinanÂ
Ketika kita berani menggerakkan jari-jari  menulis di media sosial, konsekuensinya harus berani dan siap menerima segala kemungkinan relasi dari pembaca. Hal yang mungkin sebelumnya tidak terpikirkan bisa terjadi.Â
Bukan hanya pujian dan kritikan. Bisa jadi akan ada nyinyiran, olok-olok, dan cacian bahkan hujatan yang membuat ciut nyali. Terluka. Berlinang air mata. Lalu bersembunyi.Â
Tidak hanya membuat takut, tetapi frustrasi bercampur benci. Semua harus dilalui.Â
Jangan takut. Ketakutan akan hilang selama kita tetap fokus menulis dalam niat baik yang kita miliki.Â
Jangan jadikan  perasaan  takut menjadi alasan untuk berhenti menulis. Namun justru menjadi kekuatan untuk terus menulis. Lagi dan lagi.Â
Ini kenyataan hidup yang harus kita hadapi, bukan dengan melarikan diri. Karena segala yang terjadi itu justru bisa membuat kita lebih dewasa menyikapi apa yang terjadi.Â
PujianÂ
Mengapa pujian juga saya katakan menakutkan? Karena pujian membuat kita tidak tahu kekurangan dan kesalahan yang ada, sehingga membuat kita tidak bisa berkembang.Â
Tidak jarang kita terpeleset karena pujian. Lupa diri dan terbuai oleh pujian. Tinggi hati termakan pujian.Â
Pujian memang bisa melenakan hingga lupa menjadi diri sendiri.
Menakutkan, bukan?
Tentu saja ini bukan berarti kita melarang orang lain untuk memuji. Sebenarnya pujian itu menyenangkan. Omong kosong bila ada yang mengatakan tidak suka dipuji.Â
Bagaimana kita menyikapi pujian itu yang penting. Menjadi motivasi atau tinggi hati. Menjadi nutrisi atau meracuni. Pengingat diri atau lupa diri.
Jadikan pujian ibarat madu yang manis dan menyehatkan. Bukan menyesatkan. Sejatinya  pujian membuat kita akan berusaha seperti apa yang diharapkan dalam pujian yang ada.Â
KritikanÂ
Secara alami pasti ada perasaan takut ketika menerima kritikan. Paling tidak ada rasa was-was. Apalagi kritikan itu berubah menjadi nyinyiran atau olok-olok.Â
Selama menulis di Kompasiana sejujurnya lebih banyak menerima nyinyiran dan olok-olok daripada kritikan. Tukang curhat dan penulis ecek-ecek menjadi stempel.Â
Namun di antaranya memang ada yang benar-benar memberikan kritikan  dengan langsung menunjukkan letak kesalahan.Â
Bukankah ini rasa takut yqng justru menyenangkan. Dengan adanya kritikan bisa membuat kita lebih berusaha menulis yang lebih  baik lagi.Â
Akhirnya, kritikan  pun menjadi sebuah kerinduan. Berubah menjadi hal yang menyenangkan.Â
Karena kritikan ibarat jamu walau pahit, tetapi menyehatkan. Sejatinya kritikan akan membuat kita berusaha lebih baik lagi.Â
Akhir KataÂ
Pujian dan kritikan memang sama-sama menakutkan, tetapi juga keduanya bisa menyenangkan bila mau menerima dengan hati dan pikiran yang terbuka. Sesungguhnya pujian dan kritikan juga sama-sama menyehatkan.Â
@cerminperistiwaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI