Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sang Anjay yang Kehilangan Jati Diri

4 September 2020   06:58 Diperbarui: 8 September 2020   09:47 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Canva /katedrarajawen

Katedrarajawen _Anjay, seketika mengingatkan saya pada  Vijay dan Sanjay. Nama-nama yang berbau India.

Benar saja, kata yang sudah   heboh menggoyang negeri ini, memiliki makna yang luar biasa. 

Anjay itu, dari bahasa Sansekerta. Nama berbau Sansekerta bukan hal yang aneh di Indonesia tentunya. 

Dewi, Wisnu, Bima, Sri, Gatot, Kartika, Eka, Putri, Adi, Sartika, Sukarno, Fatmawati, dan masih banyak lagi yang digunakan dengan rasa bangga. 

Kata yang Tak Mengubah Perilaku

Kenapa tiba-tiba "Anjay" menjadi menakutkan bagi petinggi negeri? Lebih menakutkan daripada pandemi dan korupsi. 

Sebuah nama yang memiliki kekuatan dan doa. Kini malah menjadi petaka. 

Sesungguhnya Anjay itu mengandung arti "Tak Terkalahkan" atau "Tak Tertunduk kan".  Seperti yang tertulis di Namamia. com, situs tentang arti nama. 

Dalam hidup ini memang tidak jarang terjadi, karena kekurangtahuan membuat sesuatu yang berharga menjadi tak bernilai. 

Salah memahami suatu makna, hingga menyebabkan kekacauan. Terlalu cepat memutuskan suatu perkara tanpa pertimbangan bijaksana melahirkan ketidakmengertian. 

Sebuah tujuan baik tanpa menelaah dengan baik bisa menciptakan ketidakbaikan. 

Kita seringkali berpikir kata yang yang menjadi masalah dalam perilaku, padahal yang harus diubah itu perilaku. Bukan kata, sebab perilaku yang jadi masalah dalam berkata. 

Sibuk memersalahkan kata-kata, tak akan mengubah perilaku kita. Yang ada justru semakin bermasalah. 

Perilaku yang Mengubah Kata 

Kita adalah tuan atas kata, bukan kata yang menjadi tuan kita. Kita mengatur kata-kata yang keluar dari mulut ketika bicara. Bukan kata-kata yang mengatur kita harus bicara apa. 

Oleh sebab itu, mengubah perilaku yang utama, sehingga kata tidak lagi berkuasa mengatur-atur kita. 

Jadi, masalah utama kita adalah mengubah perilaku. Sudah terlalu banyak kata-kata indah nan puitis, masih tak berdaya mengubah perilaku beretika. 

Untuk mengubah diri tak tergantung kata-kata, yang diperlukan kesadaran mendalam kembali menjadi siapa kita yang sesungguhnya. 

Ketidaksadaran Menimbulkan Ketidakmelekatan

Mungkin dalam keseharian, kita pernah bergaul dengan orang-orang yang berkata kasar dengan saling memanggil nama binatang. Mereka tertawa. Tidak ada risih dan marah. Tidak ada yang saling pukul dalam angkara murka. 

Mereka menganggap semua itu hanya panggilan. Tidak melekat bahwa mereka disamakan dengan binatang. 

Bisa jadi mereka sudah sangat memahami makna dari apalah arti sebuah nama. Buktinya, walau saling memanggil dengan nama binatang, mereka tidak ada yang tersinggung. 

Ini sebenarnya sudah ilmu level tinggi. Tidak ada kemelekatan lagi pada nama. Memahami sebuah kesadaran, penyebutan nama binatang tak akan menyebabkan mereka menjadi binatang. 

Ibaratkan dipanggil "Monyet" tak mungkin menjadikan dirinya seketika menjadi monyet. 

Kemengertian justru Menimbulkan Kemelekatan 

Semasa kecil saya hidup dalam lingkungan di mana orang-orang sudah terbiasa dengan bahasa kasar. 

Bukan hanya nama binatang. Bahkan alat vital _maaf_  dengan tanpa risih menyebutnya. Tidak ada yang komplain. Sudah terbiasa. 

Berbeda ketika saya sudah belajar dan mengerti sedikit etika. Bila berada di lingkungan yang demikian lagi, ada perasaan risih. Tidak nyaman. 

Dalam hal ini tentu saya setuju bila anak-anak sedari dini diajarkan tentang etika. Khususnya dalam berbicara. Peran orangtua dan para pendidik tentu sangat penting. 

Masalahnya tentu sangatlah berlebihan, bila mengucapkan kata "Anjay" harus masuk penjara. Ini lebih kepada masalah edukasi saja. 

Namun, mungkin juga kita ynag berlebihan dalam menanggapi masalah ini. Kadang heboh dahulu, baru berpikir apa  masalah yang sebenarnya. 

Seperti halnya saya yang merasa risih, bila bicara kasar dengan bahasa binatang. Yang seakan hendak menunjukkan sebagai orang baik, tetapi lucunya masih mudah tersinggung. 

Misalnya ada mengatai saya "Dasar monyet" langsung saya bereaksi berkelakuan seperti binatang. Marah-marah. Itu tandanya saya sudah melekat pada kata-kata yang otomatis mengubah saya layaknya binatang. 

Sebenarnya saya sadar, tidak akan ada keajaiban, kata "monyet" akan langsung menyulap saya menjadi seekor monyet. 

"Kecelakaan" dan Persepsi yang Mengubah Makna

Ada yang mengatakan bahwa anjay adalah kata halus dari anjing. Ada pula yang mengatakan wujud dari kepengecutan, karena tidak berani mengatakan yang sebenarnya. 

Yang mengatakan anjay itu sesungguhnya pun tidak mengerti, ada makna lain yang  indah dari anjay ini. Yakni, tak terkalahkan. Kekuatan tanpa batas. 

Namun persepsi sudah terjadi, bahwa anjay itu memiliki arti tertentu. 

Bukankah dalam hidup ini sering terjadi demikian? 

Karena persepsi buruk sudah terbentuk pada seseorang, walau ia berbuat baik pun akan dianggap bukan kebaikan. 

Persepsi memang menyesatkan dan melenakan. Tanpa sadar, persepsi telah meracuni hidup kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun