Bos sama bos terus bersitegang. Adu mulut. Tidak ada penyesuaian. Yang ada saling ancam.Â
Bos saya yang sedang dilanda amarah, memerintahkan saya lagi membakar satu petasan yang masih saya tenteng. Aparat juga ikut menyuruh, agar saya  segera menyalakan petasan.Â
Memikirkan kejadian pertama, ada perasaan kasihan pada ayam-ayam itu, sehingga perintah bos pura-pura tidak saya dengar.Â
Saya mencoba menjauh dan mencari  tempat untuk menunggu, sampai petasan itu kemudian dibawa pulang lagi.Â
Dalam perjalanan pulang bos menanyakan petasan yang masih saya pegang. Kenapa tidak membakarya?Â
Saya mengatakan buat kenang-kenangan. Kami akhirnya, malah tertawa semua, walau tagihan tak dapat.Â
Mengabaikan Mengecek BiayaÂ
Saya pernah suatu kali disuruh mengecek langsung ke lapangan biaya-biaya yang diperlukan untuk kirim alat berat ke gunung, tempat penambangan batu.Â
Khusus biaya untuk di sekitar lokasi menurunkan alat berat. Biasa biaya macam-macam. Waktu sudah sampai lokasi, malah saya tidak jadi melaksanakan perintah bos.Â
Masalahnya saya sudah tahu, sebenarnya di lapangan  ada orang kepercayaan bos yang tinggal di sekitar lokasi yang menangani urusan biaya ini.Â
Saya pikir ini artinya bos menyuruh saya mengecek langsung ke lapangan, secara tidak langsung bos tidak percaya dengan orang kepercayaannya sendiri.Â