Katedrarajawen _Tolong. Bagi siapapun yang kebetulan atau tidak sengaja membuka tulisan ini. Sebelum lanjut membaca. Saya peringatkan.Â
Apabila saudara merasa orang sadar. Jangan lanjutkan membaca. Tetapi bila saudara merasa orang yang sedang mabuk. Silahkan lanjut. Sebab yang menulis adalah pemabuk kata. Sesama pemabuk  tidak akan saling mengganggu.Â
Bagaimana tidak? Ia sendiri sering tidak sadar apa yang ditulisnya. Ketika ada yang kutip dan dibaca, masih tidak sadar itu ia sendiri yang menulis. Dasar pemabuk.Â
Sebab itu jangan mudah mabuk oleh kata. Menganggap kata sebagai kebenaran. Tidak. Kata-kata bukan kebenaran. Tidak ada kebenaran dalam kata-kata.Â
Ibarat jari menunjuk pada bulan. Jari bukanlah bulan. Jari hanya menunjukkan bahwa  ada bulan di sana. Tidak ada bulan di dalam jari.Â
Ketika jari menunjuk ke arah bulan, pasti pandangan orang akan melihat ke arah bulan. Tidak melihat ke jari lagi. Demikianlah kata ibarat jari. Bulan itulah kebenarannya.Â
Apabila kita melekat pada jari, maka tidak akan dapat melihat bulan. Sama halnya, bila kita melekat pada kata, maka tidak akan menemukan kebenaran.Â
Tenang. Sesama orang mabuk kata. Tidak akan meributkan masalah ini. Namanya juga mabuk.Â
Di dunia ini memang banyak pemabuk. Yang hebat para pemabuk  tidak sadar kalau ia sedang mabuk.Â
Lihatlah tukang mabuk minuman keras. Dibilang mabuk akan marah-marah. "Apa lu bilang? Gue mabuk? Lu yang mabuk kali!"Â
Begitu juga orang yang mabuk agama. Pasti tidak sadar. Sebab itu biar salah tetap akan merasa paling benar.Â
Demi memertahankan kesalahannya berani debat dan keluar kata-kata kasar. Mabuk, kan?Â
Orang yang beragama dengan benar, dijamin tidak akan berkata kasar. Sekalipun ia dihina. Dicaci pun tidak akan membalas.Â
Namanya mabuk. Dalam hal apapun itu membahayakan. Jadi, bagi yang masih sadar. Tetaplah berjaga jangan sampai mabuk.Â
Ini ada sebuah kisah. Terdapatlah seorang petapa. Sekian tahun sudah melatih diri. Boleh dibilang sudah  memiliki ilmu spiritual cukup tinggi.Â
Suatu hari datang iblis untuk menggoda. Ditawari seorang wanita cantik nan mulus. Tidak tergiur.Â
Ogah. Haram. Menolak dengan gagah perkasa. Petapa  tidak boleh menyentuh wanita. Harus menjaga susila. Itu pasti.Â
Diberi pedang untuk membunuh orang-orang yang telah menghinanya.Â
Tetap ogah. Semua orang yang bersalah sudah dimaafkan. Semua sudah dilupakan. Lagi pula, petapa tidak boleh membunuh. Jangankan orang, semutpun tak boleh.Â
Terakhir. Diberilah sebotol arak. Karena petapa ini tidak tahu apa itu arak. Dikira minuman ringan. Diminumlah arak itu. Apa yang terjadi? Seketika mabuk dan hilang kesadaran.Â
Begitu lihat wanita dengan tubuh aduhai. Langsung sikat. Dilalap sampai tuntas. Tidak pakai pemanasan lagi.Â
Saat di antara sadar dan mabuk. Muncul rasa panik dan takut. Tanpa sadar mengambil sebilah pedang di dekatnya. Langsung ditancapkan ke tubuh wanita yang ada di sampingnya. Blesss.Â
Bisa dibayangkan. Dua perbuatan jahat yang semula menjadi pantangan. Karena mabuk, dua perbuatan itu bisa dilakukan bersamaan.Â
Beginilah kehidupan. Banyak manusia yang mabuk di dunia ini. Mabuk dalam keinginan. Keserakahan. Kemaksiatan. Kebodohan batin. Mabuk duit.Â
Mabuk keduniawian. Tak sadar akan kerohanian. Mabuk duniawi. Tak bisa membedakan asli dan palsu.Â
Namanya mabuk, tidak tahu mana yang seharusnya dilakukan. Mana yang semestinya tidak boleh dilakukan.Â
@cerminperistiwaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H