Â
Katedrarajawen _Urusan makan itu boleh dibilang urusan maha penting. Sampai-sampai tidak sadar jadi hidup untuk makan. Bukan lagi akan untuk hidup.Â
Ada orang demi urusan makan ke manapun pergi. Tidak boleh ada makanan enak yang lolos dari mulutnya.Â
Orang Thionghua kalau ketemu selalu menanyakan,"Sudah makan belum?" Walau kelihatan sekadar nanya.Â
Kalau dijawab belum makan, belum tentu diajak makan. Kalau saya paling nanya lagi,"Kenapa tadi tidak makan dulu?"Â
Sebenarnya waktu makan itu waktu yang istimewa. Ada etikanya. Namun sekarang berapa banyak yang ingat lagi.Â
Di meja makan saat yang istimewa. Dahulu setiap pagi, saat makan semua harus kumpul. Setelah semua hadir baru boleh mulai.Â
Itu pun tidak langsung makan seperti orang  kelaparan. Biasanya yang dituakan akan mulai sibuk mengambil  sayur  yang terdekat dengan posisinya.Â
Lalu memberikan ke orang terdekatnya. Yang lain juga akan mengikuti. Saling mengambilkan sayur dan lauk-pauk.Â
Saat makan tidak boleh banyak bicara. Kalau ada waktu setelah selesai semua makan baru mengobrol.Â
Jadi lapar. Filosopinya mana ini?Â
Maaf, baru pemanasan. Ini mau mulai. Siap.Â
Sekarang kalau makan lebih sering sendiri. Masak juga sendiri. Saya punya filosofi makan sendiri.Â
Pasti lain dari yang lain.Â
Di tempat kerja sebenarnya sudah ada sedia katering. Tetapi tetap saya pakai masak sendiri.Â
Dalam kesendirian menikmati makanan. Nasi dan sayuran seimbang. Dipilih mana yang dahulu mana yang belakangan.Â
Di sini filososofinya. Tentu makanan yang tersaji semuanya enak. Tetapi kalau makan di luar atau di pesta. Kadang sudah diambil, rasanya di luar perkiraan. Tetap akan dimakan. Sayang  bagi saya buang makanan.Â
Ketika makan, saya akan pilih yang kurang enak terlebih dahulu. Walau tak begitu enak di mulut tetap harus ditelan.Â
Terakhir yang tersisa adalah makan yang paling enak menurut saya.Â
Tentu terasa sangat nikmat. Walau sedikit, berlama-lama menikmati sepenuh rasa. Ada kepuasan.Â
Mana filosopinya?Â
Dalam kehidupan ini, tidak jarang kita harus melalui peristiwa yang tidak enak. Bukankah tetap harus melewati. Nikmati saja.Â
Sama halnya dengan makanan yang tidak disukai itu. Pasti spontan akan menolaknya. Karena sudah ada persepsi tidak enak.Â
Padahal bila mau dengan mencoba dan sabar akan muncul persepsi yang berbeda. Saya dahulu paling anti makan petai.Â
Selain bau, memang rasanya tidak bisa menelan. Kalau tertelan, pusing kepala jadinya.Â
Sekarang? Jadi malah doyan. Tidak terasa bau lagi.Â
Jadi bukanlah basa-basi dikatakan, bahwa setiap hal yang tidak kita alami. Pasti ada hikmahnya. Yang susah kalau dijalani akan berlalu juga. Semua akan baik-baik saja.Â
Apabila semua itu bisa dilalui. Pada akhirnya akan menemukan hidup yang paling enak. Yang membuat kita lupa akan semua ketidakenakan yang sudah berlalu.Â
taolie@cermindiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H