Katedrarajawen _Ketika kesadaran hadir, setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Mengubah kebiasaan buruknya. Membuang sifat yang tidak baik.Â
Kenyataan yang ada, keinginan saja tak cukup sebagai modal. Sebab untuk mengganti kebiasaan yang tidak baik itu tidak semudah memasukkan makanan ke mulut. Tidak segampang membalikkan telapak tangan.Â
Bukan hal yang aneh, bila banyak keinginan mulia yang ada anak-anak manusia. Akhirnya sekadar jadi cerita. Kebiasaan itu tetap berkuasa seperti semula. Sekadar catatan sejarah.Â
Bahkan hal yang sangat mudah dan sepele begitu susah untuk diubah. Walau sudah dengan usaha.Â
Seperti mengubah menulis kata 'rubah' menjadi 'ubah'. Tentu kita paham perbedaannya. Apa itu rubah dan ubah.
Terbiasa dan Anggap SepeleÂ
Bertemu hal ini biasanya saya suka iseng untuk membenarkan. Misalnya ada teman yang suka menulis dengan kata 'merubah' untuk kata 'mengubah'.Â
"Merubah diri menjadi lebih baik."Â
Saya menyindir dengan kalimat,"Memangnya si  rubah mau menjadi lebih baik dengan jadi manusia?"Â
Tentu membingungkan. Setelah saya jelaskan baru paham. Bahwa kata yang benar untuk 'merubah' adalah 'mengubah'. Kalau merubah itu artinya menjadi rubah.Â
Apa yang terjadi, di kemudian hari tetap saja takbisa berubah. Karena menulis 'merubah' lebih mudah daripada mengubah. Terbiasa masalahnya.Â
Sama halnya dengan kebiasaan-kebiasaan tidak baik yang ada. Tidak mudah untuk mengubahnya bila sekadar ada keinginan. Namun, tidak menyertai dengan  komitmen, telaten, dan konsisten.
Apabila tidak merasa ada yang salah. Apa yang harus diubah? Itu masalah besarnya.Â
Sekian tahun lalu, saya suka mengikuti tulisan seorang  penulis terkenal.  Bukan sekali dua kali saya menemukan kesalahan penulisan soal merubah ini.Â
Apa tidak salah? Demikian pikiran saya bereaksi. Penulis yang buku-bukunya masuk daftar terlaris bisa melakukan kesalahan menulis yang sepele ini.Â
Dalam hal ini saya bisa menyimpulkan, bahwa penulis ini sudah merasa bahwa 'merubah' itu adalah ejaan yang benar. Itu sebabnya berulang kali menulis demikian.Â
Berkaitan dengan kehidupan menjadi manusia yang lebih baik. Hal yang terpenting adalah memiliki kerendahan hati.Â
Tiap waktu meneliti ke dalam diri. Apa ada kesalahan yang terjadi tanpa menyadari.Â
Introspeksi tiada henti adalah kata kunci. Jauhkan diri selalu merasa sudah benar.Â
Tidak Menyadari yang Salah itu Sebagai KesalahanÂ
"Cara mudah merubah kegagalan menjadi  kesuksesan."
"Kiat merubah kebiasaan buruk."
Itu kalimat motivasi yang keren, bukan? Namun, ada lucunya. Karena soal 'merubah' itu.Â
Untuk kasus ini, bisa jadi karena memang ketaktahuan bahwa penulisan 'merubah' itu salah untuk mendukung kebenaran kalimat yang ada.Â
Bukankah hal ini juga suka terjadi dalam kehidupan kita sendiri? Ketika kita melakukan hal yang salah. Terus terjadi. Karena memang tidak menyadari itu sebagai sebuah kesalahan.Â
Misalnya suka berkata kasar. Kita pikir memang sudah dari sananya. Tidak ada yang salah.Â
Nyaman-nyaman saja. Padahal kita tidak menyadari berapa hati yang telah terluka oleh perkataan itu.Â
Untuk dapat berubah menjadi pribadi yang baik dan benar di kemudian hari. Sekali lagi, kerendahan hati perlu dimiliki. Belajar mengikuti kitab suci bukan pengertian sendiri.Â
@motivasidiriÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H