Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tahun Baru, Banjir, dan Melepaskan

8 Januari 2020   11:26 Diperbarui: 8 Januari 2020   12:49 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi rumah pasca banjir (dok. pribadi)

Tahun 2020 baru memasuki hari pertama. Tak ada yang menduga. Banjir datang tiba-tiba. Semalam berpesta. Pagi hari mulai menderita. Rumah tenggelam dalam sekejap mata. Hanya bisa pasrah dan terus berdoa. Semoga ada berkah di balik sebuah bencana. 

Setelah sekitar 36 tahun tinggal di Tangerang, baru kali ini merasakan banjir yang sesungguhnya. Selama ini berpindah-pindah rumah antara Tangerang - Jakarta air paling hanya sampai di depan jalan. 

Pagi itu air memang sudah mengenangi jalan di Perumahan Pondok Arum. Tak ada firasat sampai mencapai atap. 

Ketika ditelepon anak, bahwa air sudah masuk teras, saya segera pulang. Kebetulan tempat kerja dengan rumah tak seberapa jauh. 

Begitu masuk komplek perumahan langsung kaget. Air sudah sepinggang. Warga sudah ramai memindahkan barang-barang. 

Bagaimana ini? Terpikir anak dan istri masih di rumah. Istri juga baru pulang dari Rumah Sakit setelah dirawat karena operasi. 

Masih bisa tersenyum membawa pakaian kotor (dok. pribadi)
Masih bisa tersenyum membawa pakaian kotor (dok. pribadi)
Susah payah saya melewati genangan air yang semakin meninggi. Apalagi ketika melekat tanggul. Airnya sudah sejajar. Bahaya. 

Itu sebabnya ketika sampai di rumah saya segera meminta anak dan istri segera keluar. Tak usah memikirkan barang-barang  lagi. Nyawa lebih penting. 

Masih beruntung anak sempat menyelamatkan buku-buku sekolahnya. Saya membawa surat-surat penting yang memang sudah disimpan di tempat khusus. 

Saat hendak ke tempat aman, harus melewati arus yang sangat deras. Sementara istri kondisi masih lemah. Beruntung ada yang menolong. 

Karena kurang hati-hati istri sampai masuk got. 

Sekali lagi ada beberapa orang dewasa yang menolong. Membopong istri sampai ke tempat kerja. Tempat yang lebih aman. 

Dalam lelah dan was-was. Malam harinya hujan turun. Air semakin tinggi sampai masuk ke area pabrik. Mati listrik lagi. Kepanikan melanda kembali. 

Puji syukur tak berlangsung lama. Perlahan air mulai surut. Sebab di dalam pabrik ada menyediakan pompa pembuangan. 

Pasca banjir melihat kondisi rumah hanya bisa pasrah. Hancur semua. Berantakan kondisinya. Buku-buku kesayangan  sekian lama yang selalu saya bawa ikut jadi korban.  Gitar kesayangan anak untuk ia latihan musik sulit  bisa dipakai lagi. 

Untuk barang-barang alat elektronik jangan dikata. Mau apa apalagi. Dipikirkan juga tak akan utuh kembali. 

Melihat saya tenang - tenang, istri heran. Saya hanya mengatakan kata-kata penghiburan. Mau apalagi? Kita berdoa saja. Hilang yang lama. Nanti diganti yang baru. Yang sudah rusak dipikirkan juga tiada guna. 

Sekali lagi masih beruntung. Pasca banjir ada teman-teman yang ikut membantu membersihkan rumah dan perabotan. Termasuk membantu cuci pakaian. Menawarkan tempat tinggal. Tidak sedikit yang ikut mendoakan. 

Selalu ada harapan dalam bencana sekalipun. Jadikan bencana bukan sebagai sumber derita. Tetapi berkat. 

Sempat saya jadikan lelucon ketika ada tetangga atau RT yang membagikan bantuan. Saya pamerkan ke teman. "Enak nih yang kena banjir  dapat bingkisan. Makanya kalau mau dapat kena banjir dulu." 

Selanjutnya dari banjir ini memberikan pembelajaran hidup, bahwa bagaimanapun kondisi tak boleh berhenti bersyukur. Secara khusus juga mengajarkan untuk bisa melepaskan apa yang hilang. Berbesar hati menerima yang pahit sekalipun. 

#pembelajarandarisebuahperistiwa 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun