Sekali lagi ada beberapa orang dewasa yang menolong. Membopong istri sampai ke tempat kerja. Tempat yang lebih aman.Â
Dalam lelah dan was-was. Malam harinya hujan turun. Air semakin tinggi sampai masuk ke area pabrik. Mati listrik lagi. Kepanikan melanda kembali.Â
Puji syukur tak berlangsung lama. Perlahan air mulai surut. Sebab di dalam pabrik ada menyediakan pompa pembuangan.Â
Pasca banjir melihat kondisi rumah hanya bisa pasrah. Hancur semua. Berantakan kondisinya. Buku-buku kesayangan  sekian lama yang selalu saya bawa ikut jadi korban.  Gitar kesayangan anak untuk ia latihan musik sulit  bisa dipakai lagi.Â
Untuk barang-barang alat elektronik jangan dikata. Mau apa apalagi. Dipikirkan juga tak akan utuh kembali.Â
Melihat saya tenang - tenang, istri heran. Saya hanya mengatakan kata-kata penghiburan. Mau apalagi? Kita berdoa saja. Hilang yang lama. Nanti diganti yang baru. Yang sudah rusak dipikirkan juga tiada guna.Â
Sekali lagi masih beruntung. Pasca banjir ada teman-teman yang ikut membantu membersihkan rumah dan perabotan. Termasuk membantu cuci pakaian. Menawarkan tempat tinggal. Tidak sedikit yang ikut mendoakan.Â
Selalu ada harapan dalam bencana sekalipun. Jadikan bencana bukan sebagai sumber derita. Tetapi berkat.Â
Sempat saya jadikan lelucon ketika ada tetangga atau RT yang membagikan bantuan. Saya pamerkan ke teman. "Enak nih yang kena banjir  dapat bingkisan. Makanya kalau mau dapat kena banjir dulu."Â
Selanjutnya dari banjir ini memberikan pembelajaran hidup, bahwa bagaimanapun kondisi tak boleh berhenti bersyukur. Secara khusus juga mengajarkan untuk bisa melepaskan apa yang hilang. Berbesar hati menerima yang pahit sekalipun.Â
#pembelajarandarisebuahperistiwaÂ