Malam itu saat saya sedang berhenti di pinggir jalan, tiba-tiba ada sepeda motor yang berhenti di depan. Ternyata mogok. Saya lihat pengendaranya sibuk menyalakan  dan utak-atik. Tetapi tidak ada hasilnya. Motor tetap mogok.
Saya berniat membantu dan mendekati. Kenapa mogok? Itu yang saya tanyakan pertama kali. Ternyata pengendara ini juga tidak tahu persis penyebab motornya mogok.
Lalu saya ingatkan  soal kondisi bahan bakarnya. Dijawab dengan yakin bahwa bahan bakar masih ada. Tidak ada masalah.
Tetapi tidak lama kemudian ia membuka jok motornya untuk memeriksa kondisi bahan bakar dengan menggunakan senter dari telepon pintarnya. Ternyata benar sekali, bahan bakarnya kosong. Pantas mogok.
Saya jadi ingat kasus yang pernah saya alami yang kurang lebih hampir sama maknanya. Waktu itu saya menarik sejumlah uang di ATM. Setelah menunggu sebentar keluarlah sejumlah uang langsung saya ambil.
Tunggu punya tunggu, kartu ATM-nya tidak keluar juga. Beruntung ATM berada di samping kantor cabang bank. Langsung saya lapor ke keamanan dan dibawa menemui managernya.
Kami seketika menuju ke tempat ATM berada. Namun sebelum membuka mesin ATM tersebut, sang manager dengan sopan mengingatkan saya untuk memeriksa kembali dompet. Siapa tahu ada di dompet?
Sebenarnya sedikit kesal, sebab saya yakin sekali kartu ATM saya tertelan. Dengan  sedikit malas saya mengambil dan memeriksa dompet saya.
Ya ampun, ternyata benar, kartu ATM sudah aman tersimpan. Bingung. Kenapa bisa? Rupanya saya lupa, di ATM tersebut kartunya keluar lebih dahulu baru uangnya. Bukan uangnya dahulu baru kartu. Ya malu.
Umumnya memang demikian kejadiannya. Ketika ada yang mengingatkan satu hal atau kelalaian kita, yang pertama adalah pembelaan diri. Karena yakin sudah benar, sehingga tidak terima kalau diingatkan ada kelalaian.
Apalagi posisi kita sebagai atasan, bos, orang tua kalau diingatkan atas kesalahannya kebanyakan pasti akan menolak dengan keras. Tidak terima. Diingatkan apa yang pernah dikatakan, akan menjawab,"Saya tidak pernah ngomong begitu!"
Lagi-lagi ini penyebabnya tiada lain adalah ego yang kebesaran. Alih-alih mau disalahkan, diingatkan saja sudah menolak.
Tidak terkecuali yang levelnya sudah mengerti ilmu agama pun tidak lepas dari penyakit ini. Apalagi merasa diri sudah lebih mengerti. Padahal selagi masih bernama manusia pasti tidak lepas dari yang namanya kesalahan.
Saya pernah mendengar seorang penceramah mengatakan kata yang salah. Diulang sampai beberapa kali. Sebenernya tidak terlalu fatal, cuma cukup mengganggu pendengaran.
Setelah selesai saya ingatkan hal ini. Ternyata ia sendiri tidak sadar dengan pengucapannya yang salah. Ia tertawa dan mengucapkan terima kasih. Ini contoh kerendahan hati, mau menyadari dan menerima kesalahan.
Kenyataannya tidak jarang ada yang sudah salah, mau dibenarkan malah balik menyalahkan. Seperti kasus di atas, bisa saja penceramah ini  berkata,"Kamu salah dengar kali, saya ngomongnya sudah benar kok!"
Bisa apa saya coba? Mau debat? Kalau dia bilang,"Saya penceramah loh. Saya lebih ngerti!"
||Pembelajarandarisebuahperistiwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H