Hari itu pagi-pagi saat si Dede belum bangun, sebelum berangkat kerja saya menyiapkan sarapan untuknya. Saya berpesan agar sarapannya dimakan, karena si Dede kalau pagi jarang mau sarapan.
Waktu malam saat menjemputnya dalam perjalanan pulang saya menanyakan soal ini. Apakah dia ada sarapan tadi pagi. Ternyata tidak. Tentu saya kecewa dan menganggap tidak menghargai usaha saya.
Saya mengatakan padanya, kalau saya dikasih makanan sama orang lain, pasti akan memakannya sebagai bentuk rasa menghargai. Walau tidak selera atau tidak suka dengan makanannya.
Saya melanjutkan memberi contoh. Seperti teman kalau lebaran ada yang suka bawa oleh-oleh dari kampung. Sebenarnya tidak sesuai dengan selera, sehingga berat untuk menelannya.Â
Saya bilang pada si Dede,"Sebenarnya kalau papi buang juga teman juga gak tahu. Cuma rasanya gak bisa karena menghargai niat baiknya yang sudah mau bawa oleh-oleh dari jauh-jauh. Jadi papi makan pelan-pelan dan bagi ke teman lagi."
Sepertinya saya bijaksana memberikan pembelajaran kepada si Dede dengan apa yang saya lakukan. Baik kelihatannya.Â
Tetapi saya sendiri tidak mengambil pembelajaran untuk memahami kondisi si Dede yang tidak mau sarapan yang sudah saya sediakan. Egois.
Selanjutnya saya merasa bangga dan mungkin diam-diam ada kesombongan tersembunyi dengan apa yang saya lakukan. Menghargai pemberian orang dengan tetap memakannya, walau tidak suka dan harus menyiksa perasaan.
Bisa saja justru sebaliknya hal ini ada yang menganggap sebagai kebodohan, munafik, membohongi diri sendiri atau apalah. Mengapa harus memaksakan diri memakan sesuatu yang tidak disukai?
Di satu sisi ada benarnya. Walau dari sisi cara pandang saya ada baiknya juga. Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu merasa paling benar dengan cara pandangnya terhadap satu masalah. Yang salah adalah bila saling menyalahkan.
||Pembelajarandarisebuahperistiwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H