Hari ini saya melihat dua gambar tangkapan layar dari  ciutan seorang yang bernama Hanum Rais berkenaan dengan Ratna Sarumpaet yang dianggap mengalami penganiayaan.
Intinya ia mengatakan, bahwa hinalah mereka yang menganggap penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet sebagai kebohongan.
Entah apa yang ada dipikirannya, sehingga ia menulis demikian. Setelah kebenaran terungkap, apa yang ia pikirkan?
Kalau mereka yang tidak percaya dengan kebohongan yang nyatanya memang kebohongan sebagai orang yang hina. Apa namanya mereka yang percaya dengan kebohongan sebagai kebenaran?
Cukup mengatakan merasa dibohongi dan minta maaf, maka akan dianggap ksatria. Semuanya selesai dan tak perlu merasa terhina. Tetapi kebenaran yang ada, energi hina itu mengalir menerpa mereka sendiri.
Dari peristiwa demi peristiwa di zaman sekarang mempertontonkan dengan telanjang kepada dunia, bahwa manusia dengan pendidikan yang semakin tinggi, berstatus sosial terhormat, identitas agama terpakai rapi tidaklah selaras perilakunya.
Yang luar biasa adalah kita tidak punya rasa malu lagi untuk mengulangi dan mengulangi kembali perilaku salah yang sama. Tak habis pikir memang. Tetapi beginilah dunia. Yang mana ketidaksadaran berada.
Pendidikan tinggi sejatinya membuat kita terdidik dalam menjaga etika, status terhormat semestinya lebih menjaga tata krama. Dengan selalu memakai identitas agama sejatinya selalu menjaga raga dan bicara. Namun sayangnya, semua itu lebih menjadi sekadar kebanggaan.
Bila tidak, pada akhirnya bukan orang lain yang akan menghina diri kita, namun diri sendirilah yang menjadikan diri sendiri terhina atas perilaku yang ada.
Bila masih ada kerendahan hati, pastilah segera membersihkan diri dan bersimpuh dengan air mata. Bila ketinggian hati yang masih menyertai, maka akan mencari penghinaan lagi. Lagi dan lagi.
Dalam ketinggian, sehingga tak sadar lagi orang lain melihat dengan kerdil diri kita. Bila sadar, dalam kerendahan hati, orang dapat melihat kebesaran yang ada pada diri kita.