Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan "Cocoklogi"

11 Desember 2017   06:18 Diperbarui: 11 Desember 2017   08:04 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengapa kita suka menghubungkan suatu kejadian tertentu dengan suatu hal dan kita merasa hal itu benar? Padahal ada yang lebih penting di balik kejadian tersebut bagi kehidupan kita. Bisa jadi karena kita terbiasa  mencocokkan suatu kejadian dengan hal tertentu atau bahasa kerennya cocoklogi. Kebiasaan jadi terbiasa.

Dalam hidup memang seringkali kita mengalami hal-hal yang membuat kita takjub dan tidak habis pikir. Dipikir-pikir tidak masuk logika. Ya akhirnya pakailah ilmu cocoklogi. Lalu kita merasa menemukan kebenarannya. Gampang, kan?

Saya pribadi tentu juga pernah mengalami kejadian yang membuat terheran dan penuh tanya tidak habis pikir. Kenapa kejadiannya bisa begini? Terbersit juga untuk menggunakan ilmu sakti cocoklogi. Tetapi....malu ah.

Saya pernah bawa sejumlah uang untuk membayar tagihan sewa alat berat. Karena orang yang ditunggu belum datang saya belanja makanan ringan  terlebih dahulu di sebuah toko.

Lalu saya menuju ke tempat yang sudah kami sepakati untuk bertemu. Saat bertemu kami membahas berbagai hal. Setelah cukup lama ngobrol saya bermaksud menyerahkan uang yang sudah saya siapkan.

Saat itulah baru sadar, uang yang saya bawa tertinggal di toko tempat saya belanja tadi. Matilah. Jangankan sudah lama begini, sekian menit saja bisa lenyap. Apalagi letak tokonya di terminal yang ramai orang. Begitu yang terpikir.

Tetapi saya tetap balik kembali ke toko itu. Dari jauh saya bisa lihat di balik kaca toko ada beberapa orang yang sedang belanja. Habislah. Begitu masuk saya langsung ke tempat saya mengambil roti tadi.

Ya Tuhan, uang berserta dompet masih tergeletak dalam keadaan utuh. Letaknya persis di depan tempat penjaga toko yang berjarak sekitar 2 meter. Tanpa kata ba bi bu langsung saya raih. Penjaga toko juga diam saja. Selamat, selamat.

Begitulah kalau orang baik. Entah ada bisikan dari mana datangnya.Ya saya memang orang baik. Langsung benak saya menyambar ha ha ha..merasa saja tak apa, kan?

Waktu itu sudah mau menjelang tengah malam saya terburu-buru mau balik ke pabrik. Biasanya saya selalu putar balik pada putaran kedua. Karena putaran yang pertama adalah untuk putar balik kendaraan dari arah berlawanan.

Saya pikir sudah malam dan sepi, pada putaran pertama saya langsung putar balik. Kagetlah awak ini. Di depan sehabis putar balik sudah ada beberapa pak polisi menunggu.  Apes nian. Sempat terpikir untuk putar balik lagi, akhirnya tidak jadi. Hadapi saja. Pak polisi kan cinta damai, pikir saya.

Jelas saya mau ditilang  dan setor ke BRI lima ratus ribu. Begitu kata pak polisinya. Tumben nih pikir saya tidak ada tawaran damai. Akhirnya terpaksa saya yang minta damai dengan memberikan sejumlah uang. Pelanggaran nih.

Tak disangka malah ditolak dan dimarahi. Apa kurang besar jumlahnya? Pak polisi tetap kekeuh bilang saya ditilang dan saya pasrah mengiyakan.  Saya lihat pak polisi segera sibuk menulis di buku tilang.  Lalu menyerahkan ke rekannya.

Lantas saya dipanggil. Begitu melihat saya pak polisinya langsung bertanya,"Kamu mabuk ya? Matanya merah."

Tentu saya tidak terima dan menjawab,"Saya vegetarian dan tidak boleh minuman keras."

"Oh, kamu vegetarian?" tanya pak polisi untuk meyakinkan sambil melihat surat-surat milik saya yang di tangannya.

Tidak pakai lama SIM dan STNK saya yang ada di tangan pak polisi diserahkan kembali ke saya. Setelah saya terima, saya serahkan uang yang ditolak pak polisi sebelumnya.

Tak disangka, lagi uang saya ditolak dan disuruh melanjutkan perjalanan. Lagi saya berpikir, dasar nasib orang baik ha ha ha....

Sebenarnya dari dua kejadian di atas hikmah yang dapat dipetik adalah soal kehati-hatian atau tidak ceroboh. Jelas waktu itu saya ceroboh meletakkan uangnya.

Kedua, yang nanya aturan itu tetap harus ditaati tidak pakai alasan basi untuk melanggarnya.. Jangan pakai istilah mentang-mentang. Nasib baik yang saya alami belum tentu akan terulang untuk kejadian yang sama.

||Pembelajarandarisebuahperistiwa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun