Katedrarajawen No 61 | Melihat gerak-geriknya, wanita itu tampak dewasa sekali. Wajahnya yang ayu hampir tanpa polesan. Alamiah sekali. Bentuk tubuhnya padat berisi dengan gerak yang lincah. Ketika berpapasan dengannya, ramah ia menyapa dengan senyuman yang terasa menyejukan hati.
Wanita itu adalah tetangga baruku di komplek perumahan sederhana di pinggir kota. Diam-diam aku sering memperhatikan aktivitas rutinnya.
Setiap pagi sering terlihat tergopoh-gopoh keluar rumah dengan sepeda motornya. Ketika pulang sudah menjelang malam. Tapi tak tampak kelelahan di wajahnya.
Yang aku tahu, serumah itu selain wanita yang belum kuketahui namanya itu. Ada sepasang anak. Seorang lelaki yang dari seragam yang dikenakannya adalah pelajar SMA. Seorang lagi adalah wanita yang masih duduk di bangku sMP. Selain itu ada seorang ibu. Aku kira itu ibunya si wanita.
Jadi penasaran, suaminya mana? Atau...ehm ia seorang janda? Wah, kesempatan nih, pikirku. Bukankah aku seorang duda yang masih membutuhkan kehangatan wanita? Cocok. Pikiran nakalku berkeliaran.
Apalagi setelah kulirik-lirik dan amati gerak-geriknya ada kesamaan dengan istri yang sudah meninggalkanku selamanya lima tahun yang lalu karena kecelakaan.
Sampai pada waktunya. Aku mendapat kesempatan untuk berbicara banyak dengan wanita tetanggaku itu. Akhirnya aku tahu namanya, Asti. Selama ini kami hanya saling melepas senyum atau sekadar bertegur.
Setelah berbasa-basi di teras rumahnya, aku memancing dengan pertanyaan,"Gak pernah lihat bapaknya anak-anak, Mbak? Kerja di luar kota?"
"Udah gak ada. Tau ke mana?!" sahut Asti cuek.
Loh, loh. Apa maksudnya?
"Maaf, maksudnya Mbak udah pisah dengan bapaknya anak-anak?" tanyaku berhati-hati.