Ketika bersalah dan tidak memiliki kerendahan hati untuk menerimanya. Malahan balik menyalahkan, maka takkan menemukan kebenaran. Sebaliknya justru malah bisa semakin terpuruk dalam kesalahan.
Siapa yang mau disalahkan? Jangankan dalam keadaan sudah benar disalahkan. Pada saat sudah salah dan disalahkan tak akan mudah menerimanya. Seringkali reaksinya malah balik menyalahkan. Ini merupakan sifat umumnya manusia.
Ada keegoan yang menolak untuk direndahkan, maka cara melawan adalah dengan melakukan serangan balik. Disalahkan lawan dengan menyalahkan.
Dalam hal balik menyalahkan ini bisa tertuju secara langsung yang menyalahkan. Bisa juga pada pihak lain untuk dijadikan kambing hitam. Pokoknya asal jangan saya yang disalahkan.
Kita merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi ini. Lama-kelamaan menjadi sifat dan membentuk karakter kita.
Sikap kita dengan spontan balik menyalahkan ketika disalahkan sudah ada tombol otomatisnya.
Sebelum lebih lanjut coba-coba bayangkan apa diri kita demikian keadaannya? Tidak ada yang angkat tangan atau mengangguk?
Itu salahnya saya yang masih mencari-cari kesalahan orang lain dengan cara minta pengakuan. Benar-benar terlalu. Mengapa bukan diri sendiri yang membayangkan?
Sudah diri sendiri yang salah malah mau minta dukungan. Ketahuan belangnya. Ya harus diakui. Setelah membayang-bayangkan, begitulah diri saya kalau disalahkan. Pasti dengan reaksi dan otak bekerja dengan cepat untuk membela diri dengan mencari korban untuk disalahkan.
Bahkan yang jelas-jelas benda mati pun dijadikan korban. Terlalu memang.
Contoh sederhana: Ketika telat sampai kantor dan ditegur. Dengan enteng menjawab,"Jalannya macet, boss!" atau "Wah, bannya kempas. Sialan banget kena paku!"