[caption id="attachment_231653" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Menjadi miskin di atas kejujuran tidaklah memalukan. Namun sungguh memalukan bila memiskinkan diri harus menukarnya dengan ketidak-jujuran.
[Sahabatku.... Kemiskinan itu memang menyakitkan, ketika menjadi penghinaan. Tidak dihargai sebagaimana mestinya. Dipandang sebelah mata. Tersingkirkan dan menjadi beban. Tak ada penghargaan untuk kemiskinan. Menyakitkan.
Menjadi miskin itu menyedihkan. Keinginan hanya menjadi harapan kosong. Menahan lapar, sebab tak ada hidangan. Sarapan menjadi sesuatu yang mewah.
Menyedihkan harus menahan kedinginan. Tak ada tempat berteduh. Baju hanya yang melekat di badan. Ketika basah tak ada untuk pergantian.
Sungguh nelangsa. Sudah menahan lapar kedinginan pula. Mata hanya bisa menatap hampa sambil menelan air liur yang menjadi santapan. Menelan angin yang semakin membuat perut keroncongan.
Ketika perut lapar dan tak ada yang bisa dimakan. Masihkah dapat bahagia? Menyedihkan!
Sahabatku... Kemiskinan memang menyedihkan. Namun mereka yang rela memiskinan diri lebih menyedihkan lagi. Lebih hina dari yang terhina. Lebih menyakitkan nurani yang tersembunyi.
Bagaimana tidak lebih menyedihkan? Ketika sudah memiliki kemampuan untuk membeli apa dibutuhkan, masih tetap merasa kekurangan. Akibatnya harus menipu dan mencuri di sana-sini. Seolah-olah mereka adalah orang yang termiskin.
Bagaimana tidak lebih menyeihkan? Ketika perut sudah dipenuhi tumpukan makan, masih merasa kelaparan.
Ketika sudah memiliki tempat berteduh dan lemari penuh pakaian, tetapi tetap merasa kekurangan. Menedihkan bukan?
Untuk memenuhi segala yang masih dianggap kekurangan. Tidak malu meminta jatah ke mana-mana. Mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Betapa menyedihkan, ketika di meja makan terhidang sajian atas kesedihan mereka yang kelaparan. Memakai pakaian atas kenestapaan mereka yang kedinginan.
Sahabatku... Sesungguhan di atas rasa kenyang dan nyaman itu, ada kesdihan tak terkira yang menyakitkan di kemudian hari.] Sarapan pagi dari Sang Guru di Puncak Kesunyian yang dingin. Tak ada sarapan yang tersaji dan teh hangat untuk menemani. Apakah kata-kata bisa mengenyangkan dan menghangatkan tubuh?
[Sahabatku..kata-kata memang tidak dapat memberi kenyang dan hangat pada tubuhmu. Tetapi kata-kata dapat memberi harapan dan kehangatan jiwamu. Kata-kata dapat membuatmu melihat kebenaran.]
Senyum Sang Guru yang membaca isi hatiku seketika menghadirkan malu pada diriku.
Oh begituku...? Gumamku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H