Kalau mau omong kosong paling gampang. Karena tinggal omong saja sesuka hati tidak usah pakai mikir. Namanya juga omong kosong. Tentu tidak ada isinya.
Contohnya kita yang baru bisa menendang bola saja bisa omong besar ketika pemain sekelas Messi atau Ronaldo gagal mencetak gol.
"Gimana sih, gitu aja gak gol?!! Tinggal nendang doang. Coba kalau gua yang nendang. Pasti masuk tuh!"
Padahal kalau kita sendiri yang benar-benar main, kemungkinan menendang bola pun tidak ada kesempatan.
Dipastikan kehebatan kita itu hanya omong kosong saja. Tidak bisa dibuktikan.
Seperti juga ketika kita sekarang ini ramai-ramai mengkritik kinerja presiden kita yang lamban. Hanya omong kosong akan memimpin pemberantasan korupsi.
Seakan-akan kita ingin berkata,"Kalau saja saya yang jadi presiden, maka saya akan bertindak begini-begitu. Pasti semuanya beres."
Terlepas kritik kita benar atau salah. Tepat atau salah alamat. Tetaplah hanya omong kosong. Lah, kita jadi presisiden saja belun?!
Apa yang ingin kita lakukan baru sebatas khayalan. Belum nyata. Jadi ya namanya omong kosong.
Presiden SBY dianggap omong kosong berkenaan dengan komitmennya yang akan berada di garda paling depan dalam pemberantasan korupsi.
Tetapi para pengamat dan publik menilai, pernyataan Sang Presiden hanyalah omong kosong. Padahal sebagai presiden sah-sah saja omong kosong.
Coba kalau presidennya jujur ngomong begini: "Soal pemberantasan korupsi, maaf-maaf saja deh, saya akan berada di belakang saja. Susah memberantasntasnya. Tidak sanggup saya."
Harus di akui, omong kosong itu sudah menjadi keseharian kita. Begitu bangun tidur, karena masih mengantuk setelah nonton el clasico. Jurus omong kosong dipraktikkan dengan meyakinkan.
"Maaf Pak, hari ini saya ijin. Lagi kurang enak badan. Panas dingin. Ini gak bisa bangun-bangun."
Ada lagi, baru saja sampai dan duduk di meja kantor. Boss langsung memberikan bonus menu untuk omong kosong hari itu.
"Kalau ada yang telepon atau ingin bertemu, bilang saya sedang ke luar kota."
Apalagi dalam bidang pemasaran, urusan omong kosong itu sepertinya kewajiban yang tak tertulis. Walau ditutupi dengan bahasa indah dan pembenaran.
Terbukti semua pemasar mengklaim produknya yang terbaik alias nomor satu. Omong kosongnya produk lain nomor dua.
Bahkan dalam hal beragama pun tidak lepas dari omong kosong. Padahal agama jelas-jelas melarang untuk omong kosong. Nah, loh!
Omong kosong macam apa?
Iming-iming tentang surga. "Kalau Anda ikut agama ini, Anda dijamin masuk surga. Tanpa ada syarat-syarat tertentu seperti iklan."
Atau,"Kalau saudara bisa membunuh banyak orang tertentu dengan bom bunuh diri ini, maka saudara dijamin masuk surga dan dapat bonus bidadari."
Ya, tidak heran kalau ada umat yang termakan omong kosong ini. Sampai-sampai ia yakin, kalau membunuh, berzina, dan mencuri pun ia tetap akan masuk surga. Apalagi kalau cuma berbohong.
Dengan bangga dan dihiasi kesombongan ia berkata,"Nama saya sudah terdaftar di surga! Kalau mati sudah ada malaikat yang menjemput."
Tidak heran juga banyak yang rela jadi pembunuh dan meledakkan dirinya demi surga dan bidadari.
Omong-omong kosong memang mengasyikan. Apalagi tempatnya di warung kopi. Tanpa terasa kopi sudah bergelas-gelas dan mulut berbusa, tidak selesai juga omong kosongnya.
Itulah sebabnya, di setiap sudut bumi ada saja manusia yang suka omong kosong.
Lebih-lebih sepasang manusia yang sedang dimabuk asmara. Satunya suka mengumbar omong kosong, satunya lagi suka diomong kosongi. Tetapi akhirnya bila sudah benar-benar mabuk omong kosong. Bukan omong kosong lagi bila terjadi "pertumbahan berdarah-darah".
Omong kosong terakhir, tulisan ini pun hanyalah omong-omong kosong. Tidak lebih.
Jadi tolong jangan dilebih-lebihkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H