Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Poligami [Memang] Menjijikkan

12 Agustus 2012   22:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:52 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf, harus saya katakan bahwa berpoligami itu memang menjijikkan kalau melihat kelakuan segelintir lelaki. Tak heran ada istilah keren untuk poligami "selingkuh yang dilegalkan". Terlepas ada yang setuju atau malahan akan dengan jijik menilai tulisan ini sebagai sampah.

Saya berani mengatakan hal ini atas dasar pengalaman dan pengamatan saya selama ini. Jadi bukan hasil mengarang, menuduh ataupun fitnah.

Tidak sedikit lelaki berpoligami hanya demi untuk memuaskan nafsunya saja. Tanpa peduli dengan perasaan istri-istrinya.

Ini adalah perilaku sosial sebagian masyarakat yang ada di sekitar kita. Jangan sangkut pautkan dengan agama.

Bahkan ada yang berpoligami demi untuk menunjukkan kejantanannya. Gagahan bisa menaklukan banyak wanita. Menjijikkan bukan?

Waktu saya bekerja di daerah Legok, Tangerang. Itulah keterkejutan saya yang pertama tentang poligami (orang Sunda menyebutnya nyandung).

Bagaimana tidak kaget? Lelaki yang beristri lebih dari satu dianggap hal biasa. Tukang kebun saja di tempat saya kerja bisa beristri dua. Setali tiga uang dengan satpamnya.

Malah ada yang dengan bangga menceritakan pernah memiliki istri lebih dari sepuluh. Tapi semua sudah ditinggal. Apa tidak menjijikkan?

Tidak heran kalau kepala desanya bisa punya istri sampai tujuh. Bayangkan, bagaimana menjatahnya?

Karena begitu mudahnya berpoligami, maka begitu mudahnya juga diceraikan. Jadi banyaklah janda di mana-mana.

Berpindah ke Majalengka. Keadaannya tak jauh berbeda. Lebih gampang lagi untuk berpoligami. Kalau niat dan mau.

Waktu itu tawaran berdatangan dan "ikhlas" dipoligami. Teman-teman selalu mengompori. Istri memang cukup satu. Di sana satu, di sini satu. Tidak apa-apa toh? Namanya juga lelaki!

Untung hidup ini selalu pas-pasan, sehingga tidak akan cukup untuk membiayai istri lebih dari satu. Kalau tidak, ehmmm ....

Ternyata lelaki yang suka berpoligami itu ada di mana-mana. Kembali ke Tangerang, bekerja dan tinggal di mess.

Lagi-lagi ada teman yang menggoda,"Pak, daripada pusing di pabrik. Cari satu lagi kenapa buat hiburan?"

"Waduuuh, satu aja udah pusing. Bagaimana kalau dua? Bisa tambah pusing!" saya beralasan.

"Siapa tahu, punya dua pusingnya jadi hilang?! Saya aja punya tiga tenang-tenang aja. Ngapain dipusingin!? Malah enak." teman ini membeberkan rahasianya.

Coba pikir. Bagaimana tidak menjijikkan? Orang mau jadi pria yang setia malah diprovokasi untuk berpoligami!

Kalau berpoligami hanya untuk tujuan memuaskan syahwat. Setelah puas dan bosan lalu diceraikan.

Tanpa peduli dengan perasaan wanita dan masa depan anak-anak. Apakah salah bila saya bilang poligami model begitu menjijikkan?

Terakhir, betapa menjijikkannya poligami. Karena dapat menjadi sumber kebohongan dan ketidak-adilan serta merusak masa depan anak-anak yang belum tahu apa-apa.

Tetapi kalau ada yang bilang poligami itu ibadah, mulia, daripada selingkuh itu bukan urusan saya. Itu hak Anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun