"Udah pulangnya jam sembilan aja. Sekalian ikut teman Papi. Jalannya kan searah. Sekarang Dede diam," saya masih bersabar. "Dede kalau anak baik, dengarin kata Papi !"
Rupanya Si Dede keras kepalanya kambuh. Bukannya diam malah menjadi dan meronta. Tapi tumben saat itu emosi saya tidak kambuh. Masih sabar menggendong sambil menasehatinya.
Akhirnya saya kehabisan akal. Membawanya kembali ke mess. Membiarkan Si Dede terus menangis dan ngoceh sendiri.
Herannya saat diajak ngobrol dan bercanda sama maminya, Si Dede mulai diam dan mulai mau mengobrol. Setelah itu Si Dede dan maminya pulang.
Malam itu setelah sampai ke rumah langsung saya telepon. Biasa... mau menasehati lagi. Saya pikir keadaannya sudah tenang.
"Dede, tadi kenapa kurang ajar sama Papi dan Mami. Kenapa?" tanpa basa basi saya ingin tahu penyebabnya via telepon.
"Papi ... Maafin Dede. Dede juga gak tahu bisa kayak gitu. Perasaan itu bukan Dede, makanya ngomongnya keceplosan terus. Padahal Dede gak mau gitu." suara Si Dede dibalik telepon.
"Kok bisa gitu sih?" saya penasaran.
"Benar, Pi. Kayaknya ada yang masuk ke badan Dede deh ! Soalnya Dede keceplosan terus tadi. Maaf ya, Piii..."
Duh... Tidak mudah memang menjadi orangtua. Begitu juga sebaliknya tidak mudah menjadi seorang anak yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H