Mengapa saya bertanya,"Apakah Anda menjengkelkan?" Mengapa tidak bertanya pada diri sendiri,"Apakah aku menjengkelkan?"
Ya, karena saya sudah sering menjengkelkan. Jadi tidak perlu dipertanyakan lagi.
Sekarang saya jadi tahu. Bagaimana rasanya menghadapi orang yang menjengkelkan. Yang mau menang sendiri.
Dalam hidup. Pasti banyak hal-hal yang menjengkelkan menimpa kita. Mau tidak mau harus diterima. Karena memang bagian dari keseharian kita.
Semua tergantung bagaimana kita menghadapinya. Tapi saya benar-benar harus merasa jengkel. Lupa sejenak untuk bersabar.
Tetapi lumayan. Di balik rasa jengkel masih bisa tersenyum. Mengingatkan diri untuk memaklumi bila menghadapi hal yang sama.
Karena rasa jengkel sampai saya lupakan diri sejenak untuk menceritakan kejelekan seorang teman. Mudah-mudahan tidak kualat.
Saat saya lupa, seorang teman dengan sinis menegur,"Kok lupa sih? Lain kali jangan lupa gitu dong!"
Lain waktu giliran dia yang lupa. Tanpa merasa bersalah cuma bilang,"Iya, saya lupa!"
Sungguh pelupa rupanya ia. Untuk kesalahan yang sama ia kesal setengah mati pada saya.
Ada lagi. Sewaktu berbicara di telepon. Karena suaranya kurang begitu jelas. Saya hanya bisa berucap."Hah, apa?
Berulang beberapa kali.
Bukannya memaklumi. Malahan dengan nada kesal menegur. "Kok hah, hah, melulu sih?!"
Giliran teman ini tidak jelas mendengar ucapan saya. Ternyata ia melakukan hal yang sama. "Hah, apa? Kok suaranya kecil?"
Hah? Mungkin ia lupa. Untuk kejadian yang sama ia harus menegur saya dengan sinis
Di lain waktu. Karena ponsel sedang diisi baterenya. Teman ini menelepon beberapa kali. Jelas saja tidak bisa saya terima. Sebab saya tidak berada di tempat. Akibatnya panjang lebar saya diceramahi.
Katanya"Hp itu jangan ditinggal-tinggal. Kalau ada penting gimana?"
Ketika saya ada penting. Menghubunginya susah setengah mati. Ditelepon berkali-kali tidak ada jawaban.
Pada saat dia telepon balik. Dia beralasan ponselnya tertinggal di kamar.
Menjengkelkan, kan?
Satu lagi. Ini menjengkelkan plus mendongkolkan. Saat saya hendak mencari kunci pintu gerbang. Ternyata tidak berada di tempatnya.
Saya tanyakan ke mana kunci tersebut. Malahan ia berbalik bertanya,"Bukannya kamu yang pakai tadi? Kamu taruh di mana?"
Padahal jelas-jelas ia yang habis pakai. Setelah dicari-cari. Ternyata tergantung di balik pintu kamarnya.
"Itu ada!" saya menegaskan.
Apa jawabannya? "Oh, iya. Tadi gantung di situ!"
Saya bayangkan. Andai saja kunci tersebut tak ditemukan, maka siap-siap saya dijadi kambing hitam.
Sejujurnya sifat mau menang sendiri benar-benar menjengkelkan. Bagaimana tidak? Kalau diri sendiri masih suka lupa. Tapi seenaknya marah ketika orang lain lupa.
Apakah Anda seperti itu, sahabat? Huh, menjengkelkan! Maaf, apabila tulisan ini menjengkelkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H