Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

KumaT

17 Maret 2012   09:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:55 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebagai manusia, salah satunya adalah memiliki penyakit KUMAT. Mengulangi kesalahan yang sama dari waktu ke waktu.

#
"Mas, kok penyakit lamamu KUMAT lagi sih?" tegur seorang istri kepada suaminya dengan amarah. Karena suaminya ketahuan selingkuh lagi.

"Nak, kamu KUMAT keranjingan main game online lagi ya? Bukannya kamu sudah janji tidak akan main lagi?" seorang ibu mengingatkan anaknya.

"Bro... Pinjam duitnya dong. Nanti aku ganti! Aku sedang apes, semalam kalah!"

"Kalah? Kalah judi maksud? Wah, penyakit kamu KUMAT lagi ya?"
Itulah percakapan dua sahabat di kamar kost suatu malam.

Meminjam ilustrasi di atas. Apa yang dapat kita maknai dari kata "KUMAT"?

Saya memahami sebagai suatu perilaku buruk yang telah lama tidak dilakukan. Karena kita menyesali, lalu berjanji tidak akan melakukannya lagi. Tapi suatu ketika, tergoda melakukan hal yang sama. Bahkan berulang-ulang.

Terhadap perilaku kita yang tidak baik. Timbul kesadaran dan kita berjanji tidak akan mengulanginya. Tapi apa daya, tidak lama kita kumat melakukan kebodohan yang sama.

Kumat. Apakah kita pernah mengalami? Baiklah, sebelum ada yang menjawab. Biarlah saya yang mewakili untuk membuktikan. Bahwa penyakit kumat itu sering saya alami.

Misalnya, saya sudah bertekad untuk tidak marah lagi. Sampai-sampai berdoa dan menulis kalimat afirmasi.

"Mulai saat ini, kemarahan tidak lagi berkuasa atas diriku. Sebab ia telah menjadi budakku!"

Luar biasa bukan? Setiap hari saya baca dan baca. Saat hendak marah. Cepat-cepat saya membaca kalimat mantra itu.
Lumayan. Bisa bertahan.

Berapa lama? Sebulan dua bulan. Bulan ke tiga tahu-tahu penyakit marahnya kumat. Begitulah dengan perilaku buruk lainnya. Mengalami nasib yang tak jauh berbeda.

Saya pikir tidak perlu dipaparkan di dalam tulisan ini. Apa sebab? Terlalu banyak dan memalukan jagat raya!

Sungguh ini adalah penyakit dan kebodohan kebanyakan manusia atau tepatnya oknum manusia. Punya penyakit abadi yang namanya KUMAT.

Mungkin juga kita pernah sampai bertobat atau bersumpah untuk melakukan perbuatan buruk yang telah kita lakukan.

Namun belum setahun kita sudah KUMAT melakukan perbuatan yang telah kita sumpahkan untuk tidak melakukannya lagi.

Mengapa begitu berat kita untuk tidak melakukan hal yang sama atau terjatuh dalam lubang kesalahan yang sama?

Yen Hui, seorang murid kesayangan Konfusius adalah salah satu manusia yang sanggup untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dalam hidupnya. Tidak memiliki penyakit KUMAT. Untuk itu Konfusius sangat memuji Yen Hui.

Sanggupkah kita menjadi manusia yang tidak memiliki penyakit KUMAT?
Yang jelas, pasti perlu memiliki tekad yang berlipat-lipat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun