Mengkritik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak asal teriak, tetapi ada etikanya!
#
Seorang kompasianer bawel _maaf, ini pengakuannya sendiri_ bernama G (Gratcia) menuliskan sebuah komentar ditulisan saya "Antara Saya, Hilda @hammer City, dan Penulis Fiksi di Kompasiana" yang sangat menarik.
Beliau menulis "Untuk mengkritik itu, ada etikanya juga lho, ga asal teriak, krn kalo asal teriak dan yg dikritik jadi 'sensi' lalu tidak mau mendengarkan, apa gunanya kritikan tersebut selain menjadi sebuah penghinaan?"
Mau tidak mau saya harus setuju juga dengan pendapat Kak G ini. Soal etika, kita tahu semua hal ada etikanya. Dalam menulis ada etikanya. Begitu juga tentunya dalam mengkritik. Tidak asal kritik dan membabibuta.
Alangkah indahnya ketika kita hendak mengkritik tulisan seseorang. Diawali dengan memberikan apresiasi atas karyanya. Baru kemudian kita berikan kritikan atas kekurangan atau kesalahan tulisan. Setelah itu kita tutup dengan memberikan masukan atau motivasi.
Dengan demikian, saya percaya, sepedas dan setajam apapun kritikan kita pasti akan dihargai dan mendapat balasan ucapan terimakasih.
Namun bila dalam mengkritik kita mengabaikan etika yang ada. Apalagi asal teriak atau mengkritik begitu saja. Tidak heran ia bereaksi keras dan berkata,"Lu bilang tulisan gue sampah dan basi, emang gue pikirin? Sampah aja ada gunanya kok. Makanan basi juga enak tuh!"
Mendapatkan reaksi seperti itu, umumnya kita serta-merta menyalahkan orang tersebut tidak bisa menerima kritikan dan tidak berjiwa besar. Seakan kita sudah melakukan hal yang benar.
Kalau yang bereaksi keras hanya satu atau dua orang tentu bisa kita abaikan. Tetapi bila lebih banyak yang tidak menerima. Tentu kita perlu berintrospeksi.
Seperti kata Kak G,"Apa gunanya bila kritikan itu menimbulkan sensi dan tidak diterima, selain dianggap sebagai penghinaan?"
Saya kira ada baiknya kita mengajukan pertanyaan pada diri sendiri. Mengapa kritikan saya tidak bisa diterima? Adakah yang salah cara saya dalam mengkritik?
Mengapa kritikan saya menimbulkan reaksi keras?
Sebagai seorang pengkritik yang baik dan memiliki niat baik. Tentu kita akan belajar banyak dari pengalaman.
Dalam mengkritik, menurut saya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kritikan tersebut menjadi bernilai.
Ada beberapa "JANGAN" yang perlu dihindari.
1. JANGAN MEMBANDING-BANDINGKAN
Setiap manusia memiliki ego, besar atau kecil di dalam dirinya. Bila keegoannya terganggu, maka akan ada perlawanan.
Dengan membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, maka hal itu sangat mengganggu. Akan merasa tidak nyaman.
Jadi, mengkritik seseorang dengan membanding-bandingkan dengan orang lain adalah cara kritik yang kuno. Kemungkinan besar akan mendapatkan perlawanan.
2. JANGAN MEMBABI BUTA
Tentu tidak adil dan bijak, bila kita mengkritik seseorang semuanya tidak baik. Bagaimanapun setiap orang pasti memiliki sisi baik.
Bila sampai kita mengkritik tulisan orang lain sebagai sampah. Tentu sangat berlebihan dan menghina. Karena hal ini menandakan kita hanya bisa melihat sisi buruk saja. Padahal kalau kita mau jujur, pasti ada sisi baik yang bisa kita nilai.
3. JANGAN ASAL TERIAK dan MENYAMARATAKAN
Sekali lagi mengkritik dengan baik memang mudah. Kalau asal teriak dan membuat orang sensi tentu lebih mudah.
Bila kita berteriak bahwa semua tulisan fiksi di Kompasiana adalah sampah dan basi. Tentu bisa dikatakan asal teriak. Karena Kompasiana memang bukan media berkumpul penulis-penulis yang sudah jadi.
Jadi sangat naif bila kita berharap semua tulisannya standar dan berkelas.
Namun bila kita mau jeli dan jujur, sebenarnya pasti ada karya-karya yang layak dan berkualitas.
Sekali lagi, dalam mengkritik, niat baik dan jujur saja belum cukup, tetapi perlu kejelian dan etika, sehingga semuanya merasa nyaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H