Para sahabat, bila saat ini Anda diberi kebebasan untuk memilih antara mengkritik atau dikritik. Apa yang Anda pilih?
Sepertinya tidak perlu lama berpikir saya dan para sahabat pasti akan memilih menjadi pengkritik.
Betul?
Memang menjadi pengkritik itu kelihatannya begitu enak dan menjadi orang yang dikritik itu tidaklah mudah.
Tidak setiap orang memiliki kelapangan dada dan kejujuran hati untuk menerima sebuah kritikan.
Sebab itu tidak setiap orang bisa menerima kritikan, walaupun itu adalah untuk kebaikan. Tak jarang kita memandang kritikan itu adalah hal yang menakutkan.
Namun hari ini, kita perlu menyadari, bahwa menjadi pengkritik yang baik itupun sebenarnya tidaklah mudah. Karena seorang pengkritik pun perlu memiliki kebesaran jiwa dan kejujuran hati.
Sebenarnya kalau mau jujur sebenarnya lebih sulit menjadi pengkritik daripada orang yang dikritik.
Loh, kenapa begitu?
Kalau kita hanya mau menjadi sekadar sebagai pengkritik, tentu cukup menuliskan atau membuka mulut saja. Apalagi tujuan kita hanya untuk menyerang, melampiaskan kekesalan hati, dan kebencian serta emosi.
Kita tidak peduli bagaimana perasaan orang yang dikritik. Emang gue pikirin istilahnya.
Sebagai pengkritik yang baik tentu, kita tidak boleh melakukan hal demikian.
Mengapa saya mengatakan, bahwa sebagai pengkritik harus memiliki kebesaran jiwa dan kejujuran hati?
Karena sebagai pengkritik yang baik pasti akan mengkritik dengan cara yang sehat dan bersahabat.
Membuat orang yang dikritiknya merasa nyaman dan tidak sakit hati. Sebaliknya justru pikirannya terbuka, mau menerima dengan bersahabat, dan berterimakasih.
Apabila ingin menjadi pengkritik yang baik perlu memiliki kebesaran jiwa untuk mengakui dan melihat kelebihan yang dimiliki orang yang dikritik.
Lalu memiliki kejujuran hati, bahwa mengkritik adalah demi kebaikan dan bertujuan untuk membangun orang yang dikritik, sehingga bisa berkembang menjadi lebih baik lagi.
Jadi, saya menjadi keheranan sendiri bila ada yang mengkritik di Kompasiana katanya demi kebaikan rumah sehat ini tapi mengkritik dengan cara yang tidak sehat dan tidak bersahabat.
Karena itu tidak heran mendapatkan reaksi yang tidak sehat dan tidak bersahabat pula.
Mungkin sebagai pengkritik, Anda bisa mengatakan, bahwa orang yang dikritik itu bereaksi berlebihan dan anti dikritik atau munafik.
Kemudian berlindung dengan pembenaran, bahwa Anda mengkritik semata-mata demi kebaikan. Kalau ada yang tidak menerima dan tersinggung itu salah mereka sendiri.
Haloooooooo.....ibu-ibu, bapak-bapak, tante-tante, oom-oom, mas-mas, dan mbak-mbak, sebagai pengkritik bila mendapatkan reaksi yang tidak sehat dan tidak bersahabat, mengapa Anda tidak berpikir, bahwa hal itu disebabkan cara mengkritik Anda yang tidak sehat dan tidak bersahabat?!
Akhirnya, para sahabat, bila Anda menginginkan Kompasiana ini sebagai rumah sehat dan bermartabat, bila melihat ada hal-hal yang tidak sehat, mulailah dari diri Anda menjadi pengkritik yang sehat dan bermartabat serta bersahabat untuk memperbaiki.
Mau?!
Kalau saya mau pilih yang mana ya?
Tidak mau mengkritik dan dikritik. Maunya menulis saja deh he he he .....
Padahal???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H