Mita tertawa dari balik teleponnya saat kutanyakan kabarnya.
"Lumayan, sudah bisa tertawa!" Sahutku.
"Tapi keadaan belum berubah, cuma saya yang berusaha berubah!"Tutur Mita dan suara tawa masih mengiringi.
"Belum berubah gimana? Maksudnya?" Kejarku lagi.
"Ya, dia masih suka membawa-bawa perempuan seperti dulu. Tidak berubah juga, biar saya yang berubah dan tidak mau terlalu memikirkan kelakuannya lagi!" Terdengar begitu pasrah dan ikhlas suara Mita.
"Anggap saja ini adalah cobaan. Bukankah Tuhan tidak akan mencobai umatnya melebihi kemampuannya. Sekarang kamu masih bisa tertawa, berarti masih kuat, makanya terus dicoba!" Perkataanku itu membuat kami tertawa lepas.
"Habis kalau mau nangis dan marah juga tidak ada gunanya. Malah kita yang capai sendiri!" Mita menarik nafasnya.
Karena aku tahu Mita beragama Buddha, maka aku mencoba sedikit bijak untuk memberikan sedikit nasehat sebagai sahabat baik.
"Mit, anggap saja apa yang kamu alami saat ini adalah karma kehidupan yang harus kamu terima. Anggap saja ini adalah hutang yang harus kamu bayar pada suamimu. Terima sajalah, kalau sudah waktunya pasti akan berlalu badai ini."
Aku menarik nafas dan berusaha memahami keadaan Mita yang ada di seberang.
"Aku kira, mungkin kamu sudah sering mendengar perkataan ini, tetapi tak ada salahnya untuk menyelami!"
"Iya, Bang. Seperti saya bilang, saya sudah pasrah dengan kelakuannya yang suka membawa-bawa wanita. Sekarang saya lebih fokus mengurus anak-anak saja. Itu lebih penting bagi saya daripada mengurus kelakuannya." Suara Mita terdengar begitu tabah.
Begitulah sahabatku Mita harus menerima kenyataan menghadapi kelakuan suaminya yang setahun terakhir ini lebih sibuk berpacaran dengan wanita lain.
Pertengkaran hanya membuat Mita lebih terluka dan lelah.
Anehnya juga suaminya tak bersedia menceraikan sesuai permintaan Mita. Karena ia merasa baik-baik saja dengan kehidupan mereka.
Kelakuan suami Mita memang drastis berubah sejak kelahiran anak kedua mereka. Padahal Mita yang bekerja sebagai marketing di sebuah bank begitu setia dan mencintai suaminya demi anak-anak mereka.
Begitulah Mita setiap hari harus memendam rasa pedih menyaksikan sikap suaminya yang tak segan berpacaran di depannya tanpa bisa berbuat apa-apa. Mita jera atas tindakan main tangan suaminya.
Lapor ke polisi?
Sudah pernah dilakukannya. Tetapi hal itu justru membuat suaminya menjadi-jadi. Karena belum sempat ditahan, suaminya sudah bebas melenggang pulang setelah berbaik hati kepada polisi yang menjadi teman baiknya.
Apa yang bisa dilakukan Mita di bawah ancaman suaminya kalau berani macam-macam selain harus rela menerima semua ini?
Seperti dikatakan Mita, ia memang tidak bisa mengubah keadaan, tetapi kini ia mencoba mengubah sikap hidupnya.
Sementara keadaan memang berubah dan Mita lebih tenang mengurus anaknya. Walaupun suaminya masih asyik mengurus wanita selingkuhannya.
Terlepas apapun itu, aku pikir memang lebih baik begitu.
Badai pasti akan berlalu, karena tidak selamanya penderitaann akan mendera dalam kebaikan hatimu, Mita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H