Aku perhatikan wanita itu lincah sekali membongkar ban motorku yang kempes. Tidak ada bedanya dengan penambal yang berkelamin pria. Kulihat ia begitu riang melakukan pekerjaannya tanpa beban.
Rasanya baru pertama kali ini aku bertemu tukang tambal ban seorang wanita, karena selama ini yang kutemui adalah seorang pria.
Kurang lebih setengah jam acara tambal selesai. Kusodorkan uang sepuluh ribuan dan wanita itu mengembalikan tiga lembar ribuan. Sambil memandanginya aku ucapkan terima kasih.
"Akulah yang terima kasih!" tukasnya dengan logat Medan yang khas.
Entah karena jodoh untuk lebih lama bersama wanita itu atau karena kebetulan, ketika hendak meneruskan perjalanan, hujan turun dengan lebatnya.
Terpaksa dan diiringi sukarela aku berteduh di lapak tambal ban yang terletak di pinggiran Jakarta bagian utara. Kebetulan memang sedang tidak terburu-buru dan tidak membawa jas hujan.
"Berteduh sajalah bang. Memang mau pulang ke mana abang ini?" tanya wanita itu penuh keakraban.
"Terima kasih. Mau pulang ke Tangerang!" jawabku tanpa segan.
"Duduk sini, bang. Duduklah!" ia mempersilakan aku duduk di dekatnya.
Aku mendekati dan menghempaskan pantatku di bale bambu yang ada. Dari dekat, bisa kulihat wajah wanita itu ternyata lumayan juga. Khas Medan sekali. Dengan raut wajah yang berkarakter keras.
Tubuhnya cukup kekar untuk ukuran seorang wanita dan dibalut pakaian kerja layaknya seorang tukang tambal ban. Rambutnya dipotong pendek, sehingga karakter kerasnya lebih tampak lagi.
Setelah berbicara kesana kemari, akhirnya kutahu juga nama panggilannya.
"Panggil saja Ika, Bang!" sahutnya.
"Asli Medan ya, Kak?"
"Iya, Bang. Tapi sebenarnya bukanlah. Dari kampung, masih jauh dari Medan." Kak Ika berkata tanpa menjelaskan lebih lanjut. Lagipula aku bukanlah wartawan sehingga tidak perlu mengorek informasi lebih lanjut lagi.
"Abangnya ke mana, Kak? Dari tadi tidak kelihatan?" tanyaku, karena aku hanya melihat ia sendirian saja.
"Sudah pergi, Bang!" sahutnya.
Sebelum aku bertanya lebih lanjut, seorang bocah lelaki berumuran tiga tahunan keluar dari ruang dalam. Rupanya itu adalah anak semata wayangnya. Kak Ika tinggal bersama anaknya di lapak tambal ban tersebut yang terdapat ruangan yang sederhana.
Ternyata maksud dari kata "pergi" itu adalah meninggal dunia. Suami Kak IKa telah dua tahun meninggal dunia karena kecelakaan. Demi untuk melanjutkan hidup, Kak IKa terpaksa meneruskan usaha suaminya.
Keahlian yang ia miliki hanya sebagai tukang tambal ban yang ia pelajari saat membantu suaminya semasa hidup.Â
Kak Ika menyadari dengan pendidikan yang hanya tamatan SMP sepertinya sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di Jakarta.
"Walaupun hanya sebagai tukang tambal ban, saya bahagia kok, Bang! Aku tidak merasa rendah diri dan malu menjalani profesi ini." tukas Kak Ika enteng, lalu melanjutkan.
"Daripada aku mengemis dan menghinakan diri dengan menggunakan anakku sebagai modal untuk dikasihani. Aku tidak akan melakukannya, Bang.Â
Aku masih bisa berusaha dengan kemampuanku untuk hidup. Aku percaya saja sama Tuhan akan memberikan kemudahan kalau kita mau berusaha!"
Diam-diam aku salut dengan ketegaran dan prinsip hidup Kak Ika dalam menjalani hidupnya. Selamat berjuang dalam kehidupan ini, Kak Ika!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H