Setelah berbicara kesana kemari, akhirnya kutahu juga nama panggilannya.
"Panggil saja Ika, Bang!" sahutnya.
"Asli Medan ya, Kak?"
"Iya, Bang. Tapi sebenarnya bukanlah. Dari kampung, masih jauh dari Medan." Kak Ika berkata tanpa menjelaskan lebih lanjut. Lagipula aku bukanlah wartawan sehingga tidak perlu mengorek informasi lebih lanjut lagi.
"Abangnya ke mana, Kak? Dari tadi tidak kelihatan?" tanyaku, karena aku hanya melihat ia sendirian saja.
"Sudah pergi, Bang!" sahutnya.
Sebelum aku bertanya lebih lanjut, seorang bocah lelaki berumuran tiga tahunan keluar dari ruang dalam. Rupanya itu adalah anak semata wayangnya. Kak Ika tinggal bersama anaknya di lapak tambal ban tersebut yang terdapat ruangan yang sederhana.
Ternyata maksud dari kata "pergi" itu adalah meninggal dunia. Suami Kak IKa telah dua tahun meninggal dunia karena kecelakaan. Demi untuk melanjutkan hidup, Kak IKa terpaksa meneruskan usaha suaminya.
Keahlian yang ia miliki hanya sebagai tukang tambal ban yang ia pelajari saat membantu suaminya semasa hidup.Â
Kak Ika menyadari dengan pendidikan yang hanya tamatan SMP sepertinya sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di Jakarta.
"Walaupun hanya sebagai tukang tambal ban, saya bahagia kok, Bang! Aku tidak merasa rendah diri dan malu menjalani profesi ini." tukas Kak Ika enteng, lalu melanjutkan.