Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ini Bukan Cerita Tentang Ulat Bulu, Tapi Tentang Si Cacing!!!

14 April 2011   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:49 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tidak sedikit manusia yang lebih memilih hidup dalam tumpukan kotoran layaknya seekor cacing daripada pergi ke surga!

*

Akhir-akhir ini ulat bulu sedang menjadi cerita dan berita. Berawal dari beberapa desa di Probolinggo, ulat bulu ini kemudian menyebar ke Bali, Medan, dan terakhir sampai ke Jakarta.

Namanya ulat bulu, seringkali menyebabkan gatal-gatal pada bagian tubuh manusia. Tapi kali ini ulat bulu bukan hanya bikin kulit yang gatal, tapi bikin mulut Marzuki Alie, Ketua DPR gatal untuk berkomentar. Kemudian menimbulkan kegatalan dimana-mana untuk menanggapinya.

Walaupun terasa gatal juga, tapi kali ini saya tidak ingin bercerita tentang ulat bulu, namun tentang Si cacing saja.

Ini sedikit kisah tentang "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" karya Ajahn Brahm yang sang menarik dan sarat makna.

Diceritakan suatu hari si cacing yang ingin diselamatkan temannya yang telah menjadi dewa di surga.
Demi persahabatan mereka sewaktu masih menjadi manusia, maka sang dewa ingin mengajak si cacing ke surga.

Namun si cacing begitu keras kepalanya menolak dan meronta ketika hendak dikeluarkan dari dalam kotoran kesayangannya, dimana sela ini si cacing tinggal.

Berbagai cara dilakukan sang dewa, namun si cacing tetap tidak bergeming dan terus asyik bermain dalam tumpukan kotoran.

"Apa itu surga? Tempat yang paling nyaman itu ya tumpukan kotoran ini! Jangan membodohi aku dengan cerita surgamu. Jangan tipu aku!" Begitulah si cacing berkata dalam kebodohanya.

Apa boleh buat, akhirnya sang dewa harus kembali ke surga sendiri. Ia tiada habis pikir dan geleng-geleng kepala serta menyesal tidak dapat menyelamatkan teman baiknya yang telah menjadi cacing.

Menurut saya apa yang digambarkan oleh Ajahn Brahm dalam cerita tersebut sangat menari. Penggambaran yang pas sekali tentang ketersesatkan manusia saat ini. Yang menolak untuk diselamatkan.

Para Nabi telah diutus turun ke dunia untuk menyelamatkan dan membawa pulang manusia kembali ke surga. Tetapi tidak sedikit manusia oleh kesombongan dan kebodohannya lebih memilih tetap berkelana dalam penderitaan dan kebahagiaan semu di dunia.

Dunia yang kotor ini dianggap tempatnya yang sejati dan surga hanyalah cerita omong kosong belaka. Kebenaran-kebenaran yang dibawa oleh Para Nabi dianggap sebagai khayalan semata.

Bila demikian, bukankah manusia tak ubahnya ibarat cacing bodoh yang tetap merasa nyaman dalam tumpukan kotoran yang bau itu? Ia merasa bahwa tumpukan kotoran adalah yang paling indah, padahal masih ada tempat yang indah dalam arti yang sesungguhnya.

Ah, mungkin saya adalah termasuk salah satu cacing bodoh itu dan pantas diumpati, "Dasar cacingan eh cacing gitu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun