"Dengarkan dulu, La! Menurutku memang terpaksa kita harus melakukannya dan terbaik untuk kita!" Dengan suara memelas Aldi beralasan.
"Terbaik? Ya, terbaik untuk kita. Tetapi malang buat janin yang tidak bersalah?! Al, aku tidak tega, demi kesalahan kita, janin yang tidak bersalah harus menjadi korban.
Tidak! Aku akan tetap memeliharanya dan apapun resikonya. Aku tidak ingin menutupi dosa yang telah kita lakukan dengan dosa yang lebih berat lagi!" Suara Lala meninggi lantas meninggalkan Aldi yang terpaku diam. Tanpa reaksi memandangi kepergian Lala.
Sejuta kalut dan kebimbangan bergelayut dibenaknya. Antara takut dan rasa bersalah bercampur rasa malu bila hal ini diketahui teman dan keluarganya.
Mau dikemanakan mukanya, karena orangtua Aldi dikenal sebagai tokoh agama.
Lala, berusaha tegar menerima keadaan ini, tanpa mengalirk seluruh airmatanya. Hanya sesenggukan. Ia bertekad dan siap dengan resiko apapun untuk memberikan kenyataan ini pada kedua orangtuanya.
Tak jauh dari dugaan Lala, kedua orangtuanya marah besar dan juga menyarankan Lala segera menggugurkan kandungannya. Selagi masih kecil janinnya.
Lala tak bergeming dengan niatnya untuk memelihara janin yang dikandangnya.
"Pa, ma, janin ini berhak untuk hidup dan aku tidak ingin menjadi pembunuh yang kemudian akan membebani sepanjang kehidupanku! Aku dan janin yang aku kandung memiliki hak yang sama untuk hidup. Bagaimana perasaan papa dan mama, kalau aku harus dibunuh dengan racun seperti janin ini?! Lala yakin papa dan mama tidak akan tega, bukan?"
Tekad Lala yang begitu kuat dan tulus tanpa memikirkan dirinya meluluhkan juga hati kedua orangtuanya.
Lebih dari itu, akhirnya Aldi bisa menyadari kesalahannya dan membulatkan hati untuk menemani Lala menjaga darah daging mereka sendiri.