Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melayani dan Mengabdi [50k - Aku dan Sang Guru]

17 Januari 2011   15:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:28 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sesungguhnya hidup adalah untuk melayani dan mengabdi untuk menuju kepada kebersamaan.

*
Bagiku Sang Guru adalah contoh nyata manusia yang hidupnya untuk menjadi pelayan bagi kebenaran. Mengabdikan hidupnya untuk kebaikan. Padahal kalau mau, Sang Guru bisa menikmati kemewahan hidupnya, yang kudengar ceritanya adalah orang kaya. Tetapi semua rela ditinggalkan demi panggilan hatinya untuk mengabdi pada kehidupan.

Kemanapun pergi, tak masalah, karena bagi Sang Guru semua tempat diatas bumi ini adalah rumahnya dan langit sebagai atapnya. Semua penghuni yang ada dianggap sebagai saudara. Kasih sayangnya tak terbatas kepada siapa saja.
Dimana kaki berpijak disitulah hati berada.

Pada suatu kesempatan aku bertanya padanya,"Hidup guru adalah melayani sepenuhnya, bahkan dengan melepaskan segala kepentingan guru sendiri. Melepaskan kenikmatan yang seharusnya bisa guru dapatkan. Apakah kami juga harus seperti demikian?"

"Sahabatku, seharusnya pertanyaan itu lebih cocok ditanyakan kepada dirimu sendiri. Sebab engkau sendiri yang paling mengerti dirimu. Pelayanan dan pengabdian yang aku lakukan adalah karena panggilan hati. Aku hanya mengikuti panggilan ini.
Sesungguhnya hidup ini memang untuk melayani. Melayani manusia menuju kepada kebenaran dan kebaikan. Melayani umat manusia layaknya melayani Tuhan!"
Sang Guru menjelaskan dalam duduknya yang begitu tenang. Suaranya menggetarkan hatiku seketika.

"Iya, guru, harus mendengarkan suara nurani sendiri bukan mengikuti orang lain. Mungkin aku masih belum sanggup mengikuti jejak guru untuk sepenuhnya mengabdi dan melayani kepada siapa saja. Sebab aku masih belum sepenuhnya melepaskan keduniawian yang melekat!"
Aku menyampaikan apa yang ada di hatiku.

Sang Guru menatap padaku dengan tajam namun terasa menyejukkan.
Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela.

"Tidak perlu membebani. Yang penting adalah terus melatih kesadaran. Ketika sudah bisa dalam kesadaran setiap saat maka apa yang akan dilakukan semuanya akan begitu alami. Sekarang adalah waktunya untuk terus melatih diri dan membersihkan hati agar dapat berfungsi dengan semestinya."

Aku menerawang jauh, selama ini aku memang sudah terus berlatih dan membina diri demi untuk menemukan kesadaranku. Karena memang aku masih sulit untuk tersadarkan dalam Keinsyafan nurani. Belum bisa menjalankan hidup naif dan lugu.
Keegoan dan nafsu masih belum dilenyapkan dari diriku.
Masih berputar-putar dalam kesesatan hati. Hanya bisa sadar seketika dan terjatuh dalam kesesatan.

"Guru, sebenarnya aku pun ingin bisa hidup untuk melayani kepada sesama dengan bisa melepaskan. Tetapi selalu gagal, karena masih ada pamrih di hati!"


"Sahabatku, demikianlah manusia selalu membebani dirinya dengan segala pamrih-pamrih. Mengharapkan materi, kenamaan, dan kedudukan atas apa yang ia lakukan. Yang sesungguhnya hanyalah penuh kepalsuan yang tidak berarti apa-apa untuk kesejatian."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun