"Saya pantas melakukan itu dan kamu pantas menerimanya. Kalau saya tidak melakukannya justru salah!"
Manusia adalah makhluk yang suka mencari pembenaran atas apa yang dilakukan.
Pembenaran yang dilakukan tentunya bertujuan untuk mengklaim apa yang dilakukannya adalah benar.
Tetapi sebenarnya pembenaran-pembenaran yang dilakukan justru semakin menjebak manusia dalam kesalahan. Karena pada akhirnya pembenaran tidak akan membenarkan dirinya.
Seringkali kita terjebak dalam perbuatan ini dan akhirnya itu menjadi sifat atau karakter yang sudah sekali untuk diubah. Pembenaran demi pembenaran dan kita menganggap itu adalah hal yang benar.
Kita selalu menganggap bahwa saya pantas untuk melakukan itu karena alasannya benar.
"Saya pantas marah, karena kamu salah!"
"Saya pantas marah, karena kamu tidak mau mendengar perkataan saya!"
"Saya pantas membencinya, karena kamu menghina saya!"
"Saya pantas membalas perbuatanmu, karena kamu yang memulai!"
"Saya pantas membunuhnya, karena ia telah menginjak harga diri saya!"
"Saya pantas sombong, karena saya kaya dan pintar!"
Masih banyak kalimat " Saya pantas. . ." lainnya yang seiring kita wujudkan dalam perbuatan.
Kita menganggap semua kepantasan yang memang harus dilakukan.
Tanpa kita sadari dalam hal ini terjadi perilaku angkuh dan arogan. Tetapi kita tetap merasa itu benarnya adanya,
Mengapa kita tidak mengubah kalimat "Saya pantas. . .!" menjadi "Pantaskah saya . . .?", Sehingga timbul suatu perenungan sebelum kita melakukan sebuah perbuatan. Menjadi sebuah kalimat indah, menyejukkan, dan terkandung kerendahan hati?
"Pantaskah saya marah, walaupun ia bersalah?"
"Pantaskah saya marah, walaupun ia tidak mendengar perkataan saya?"
"Pantaskah saya membencinya, walaupun ia menghina saya?"
"Pantaskah saya membalas perbuatannya, walaupun ia yang memulai?"
"Pantaskah saya membunuhnya, walaupun ia telah menginjak harga diri saya?"
"Pantaskah saya sombong, walaupun saya kaya dan pintar?
Pantas atau tidak pantas, tergantung standar mana kita yang kita gunakan. Apakah menggunakan emosi, pikiran, atau nurani?
Tetapi kita akan menemukan jawaban yang benar dan menyejukkan pada saat nurani kita sebagai patokan.
Bukan ukuran duniawi dan kepintaran semata.
Manusia yang bisa menggunakan nuraninya sebagai patokan akan bisa melampaui kepintaran dan emosinya. Mungkin apa yang dilakukannya terlihat bodoh dalam pandangan orang lain, tetapi ia telah berlaku yang seharusnya.
Ketika timbul keinginan, "saya pantas marah pada orang lain", dan kemudian merenungkan, "pantaskah saya marah?", yang ada selanjutnya adalah "saya yang pantas dimarahi!"
Karena orang yang bernurani, selalu merasa dirinya yang paling bersalah.
Entahlah, apakah pantas atau tidak saya menulis tentang hal ini?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H