Di Kompasiana ini baru saja terjadi hal yang mengelitik hati. Ada yang mengaku dizolimi Jokowi. Dengan gagah berani mengungkapkannya dalam tulisan yang dibanjiri banyak pengunjung dan mengundang simpati. Tidak sedikit yang memujinya sebagai pemberani. Ada pula yang langsung menghakimi yang dianggap menzolimi. Admin Kompasiana terhormatĀ pun tertarik dan tak segan memberikan posisi terpuji.
Apa yang terjadi? Ketika kebenaran terungkap, ternyata pengakuan dizolimi hanyalah omongan kosong belaka. Terbukti tulisannya lenyap entah ke mana dan nama penulisnya yang indah langsung berubah jadi 'Otong' saja. Siapa sesungguhnya yang dizolimi? Saya mencoba untuk menzolimi dalam versi saya.
Apa yang menarik dari kejadian ini versi kebodohan saya yang sok bijak? Saya mencatat: Ketidakmampuan diri mudah membuat diri kita mengeluh dan menyalahkan; Gampang memihak tanpa melihat kebenaran yang sesungguhnya; Tidak cerdas dalam membaca berita. Semoga ini menjadi pembelajaran untuk saya yang masih melakukan ketiga hal di atas.
Mengeluh dan Menyalahkan
Atas ketidak-mampuan diri hal yang paling mudah dilakukan adalah dengan mengeluh dan menyalahkan pihak lain. Alih-alih berdiam diri dan melihat kekurangan diri sendiri untuk melakukan perubahan.
Atas kegagalan yang terjadi, mengeluh menjadi pilihan pertama. Pilihan kedua adalah menyalahkan. Merasa diri sendiri yang sudah paling benar. Padahal mengeluh itu sama saja meremehkan diri diri dan tak akan menyelesaikan masalah.
Dengan mengeluhkan masalah dan menyalahkan pihak lain, kita mengira (dan berharap) akan menarik simpati dan dukungan. Apalagi keluhannya dengan disertai bumbu-bumbu dan didramatisasi.
Ya bisa jadi akan dapat simpati dan dukung. Tapi yang akan semakin membuat kita terjerumus. Sebab pada akhirnya ketika hal yang benar terungkap, maka meranalah dalam kesendirian dan penyesalan.
Gampang MemihakĀ Tanpa Melihat yang Sebenarnya
Ketika terjadi pro dan kontra atas suatu masalah persepsi kita lebih mengarah kepada keberpihakan atas suka dan tidak suka. Kita akan menganggap orang yangĀ disukai pasti benar dan yang bukan pihak kita yang salah. Padahal kebenarannya bisa sebaliknya. Tapi mana mau tahu? Gejala yang sudah umum dan kita sering masuk ke dalamnya.
Masalahnya kita tak jarang terjebak dalam persepsi ini, sehingga tidak bisa melihat masalah dengan jernih. Yang penting dia teman, benar atau salah harus dibelah.