Apabila kelahiranku ibaratkan terbitnya mentari pagi di ufuk timur, maka saat itu entah berapa kehangatan yang tercipta. Yang pasti ayah dan ibu akan merasakan kehangatan harapan dan senyuman. Kakek dan nenek menatap dengan bahagia.
Ibaratkan matahari yang akan terus merambat meninggalkan pagi. Tetapi matahari akan selalu memberikan arti pada kehidupan. Petani yang menjemur gabah. Para ibu yang mengeringkan baju-baju keluarganya. Apakah aku sudah memberi arti bagi kehidupanku? Memberikan kehangatan dan senyuman seperti saat kelahiranku dulu!
Sampai pada akhirnya matahari akan mendekati cakrawala. Tandanya hari menjelang senja. Begitulah usiaku akan mencapai senja. Seperti halnya kehidupan, ketika senja tiba, anak-anak yang bermain akan segera pulang ke rumah sebelum gelap tiba. Orang-orang yang bekerja akan segera kembali ke rumah untuk berkumpul bersama keluarga.
Namun yang membedakan ada yang pulang penuh dengan senyuman dan kehangatan memeluk satu persatu keluarganya. Ada yang pulang dengan muka kusut dan pikiran penuh kesemberawutan. Ada yang penuh kecewa. Menakutkan.
Hari sudah senja. Apakah aku sudah untuk pulang ke rumah dengan senyuman dan memberikan kehangatan? Apakah aku hanya duduk menyesali masa lalu yang tak melakukan apa-apa bagi kehidupan?
Waktu tak dapat diputar kembali. Sebab akan terus berjalan meninggalkan masa lalu. Menyesali masa lalu hanyalah akan menjadikan hidupku semakin berbeban. Penyesalan akan menimbulkan luka. Lepaskanlah.
Selagi masih ada waktu, masih ada kesempatan. Mumpung masih senja, gelap belum tiba. Sehari pun berarti. Seperti saat kelahiranku. Sehari itu rumah penuh kehangatan. Semuanya bergembiran dan mengucap syukur.
Waktu masih tersisa. Tak boleh lagi disia-siakan. Waktu yang dibiarkan berlalu tanpa makna sama halnya tak berterima kasih dan bersyukur atas penciptaanku di dunia ini.
katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri