Siapa yang tidak kenal Mahfud MD? Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang diyakini sebagai tokoh di republik ini yang masih memiliki integritas. Belakangan ini banyak yang mengajukan kekecewaannya _termasuk saya sendiri_ atas ketokohan seorang Mahfud MD selama ini yang ternyata juga masih berambisi dalam kekuasaan sehubungan dengan keputusan politiknya yang sempat menjadi berita hangat.
Setelah kecewa karena harapan untuk menjadi cawapres kandas di salah satu kubu, Mahfud mengambil keputusan dengan menjadi ketua tim sukses dan iming - iming jabatan penting dari kubu lain. Padahal masih ada pilihan untuk menjadi netral. Tetapi itu bukan pilihan yang terbaik menurut beliau.
Sebelum mengambil keputusan ini, rupanya terjadi peperangan batin dalam diri Mahfud. "Selama tiga hari saya galau, bersama tim kami menangis, karena dihadapkan dilema yang sulit," kata Mahfud saat konfrensi pers di kantor MMD Initiative, Jalan Dempo, Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (22/6).
Terlepas keputusan dari Mahfud itu sudah sesuai dengan suara hatinya yang terdalam atau tidak. Tentu kita tidak bisa menilai dengan apa yang terlihat. Tetapi pembelajarannya adalah hidup kita dari waktu ke waktu memang tidak lepas dari yang namanya dilema atau peperangan batin dalam memutuskan masalah yang kita hadapi.
Peperangan Batin
Kita sadari atau tidak, peperangan batin setiap saat terjadi dalam hidup kita. Dari hal yang kecil sampai yang besar. Dari masalah yang sederhana sampai yang rumit. Memang sebuah dilema. Dalam hal ini tentu kita bisa merasakan galaunya seorang Mahfud.
Kadang untuk memutuskan menolong seseorang yang butuh bantuan pun muncul peperangan batin antara nurani dengan pikiran atau ego.
Ketika kita menemukan sebuah barang di jalanan segera terjadi peperangan batin antara memiliki atau mengembalikan kepada pemiliknya. Pasti ada, masalahnya kita bisa merasakan atau mengabaikannya.
Pada saat pertama ada kesempatan melakukan perbuatan korupsi, mungkin kita akan merasakan panas - dingin saking dahsyatnya peperangan batin yang terjadi. Ada perasaan tidak nyaman pada tubuh ini.
Mana kala kita dihadapkan pada pilihan untuk melakukan kewajiban sebagai umat beragama atau untuk melaksanakan hak mencari kebutuhan hidup pasti ada juga peperangan bati?
Siapakah pemenangnya dalam peperangan ini?
Pembenaran Mengalahkan Kebenaran
Sejujurnya dari banyaknya peperangan batin yang terjadi, saya berani mengatakan pembenaran - pembenaran dari pikiran dan si ego yang menjadi pemenang. Hati nurani terpaksa mengalah. Bagaimana dengan Anda? Semoga tidak seperti saya yang lebih sering menjadi pecundang!
Ketika untuk membantu seseorang karena dorongan suara hati. Namun tiba - tiba muncul pikiran yang merayu,"Jangan sok membantu deh, kamu sendiri masih kekurangan dan perlu dibantu."
Apalagi ada unsur kecewa dan sakit hati, maka pembenaran akan semakin merajalela. Pasti akan ada pembenaran yang hadir untuk menenggelamkan kebenaran.
Ketika ada kesempatan korupsi, awalnya nurani sudah wanti - wanti,"Jangan! Itu bukan hakmu." Muncul si ego,"Alah, jangan bicara hak deh. Itu bosmu pelit begitu dan gajimu kecil. Tidak ada salahnya kalau kamu ambil sebagian dan itu tak membuat bosmu jatuh miskin. Sikat!"
Pas waktu menunaikan kewajiban ibadah, tapi ada janji pertemuan bisnis. Tentu suara hati memerintahkan untuk menunaikan kewajiban dahulu. Sebab itu yang utama. Apa daya, pikiran merayu,"Sudahlah, menghadap Tuhan masih bisa lain waktu. Tapi kesempatan bisnis ini kalau tidak diambil sekarang, tak ada kesempatan lagi."
Begitulah, seringkali kebenaran suara hati tak berdaya menghadapi kerasnya suara pembenaran yang datang dari segala arah. Kita kalah oleh diri kita sendiri.
Siapa yang Dapat Mengalahkan Dirinya Sendiri (si Ego) Itulah Pemenang Sejati
Itu sebabnya ada perkataan 'Siapa yang dapat mengalahkan dirinya sendiri itulah pemenang yang sesungguhnya'. Diri dalam hal ini adalah keegoan bukan diri sejati.
Ada banyak orang yang bisa mengalahkan orang lain di dalam bisnis atau arena pertandingan olah raga atau dalam peperangan dengan bangganya.
Tetapi sungguh jarang yang mampu mengalahkan ego dirinya sendiri. Dalam dunia politik atau bisnis misalnya yang penuh dengan intrik dan kekurangan dengan menghalalkan segala cara.
Berapa banyak yang awalnya memegang teguh integritas namun akhirnya harus tunduk pada nafsu kekuasaan dan kekayaan. Sebab begitu kuatnya kekuasaan si diri sendiri itu, sehingga kehendak si nurani tak sanggup dilakukan.
Dikatakan sejatinya perjalanan kehidupan kita di dunia adalah untuk mengecilkan peran si ego dan membesarkan peran si nurani. Menjadikan si ego sebagai tamu _bukan tuan rumah seperti saat ini_ dan mengangkat si nurani sebagai tuan rumah atau nahkoda. Bukan menjadi tamu di rumah sendiri.
Afirmasi:
Tuhan, sungguh kami rindu untuk menjadi pemenang dalam setiap peperangan batin yang ada dalam hidup kami. Tetapi seringkali kami harus tak berdaya untuk mengalahkan diri sendiri. Semoga peperangan melawan diri sendiri ini menjadi perang suci bagi kami untuk menjadi pemenang.
katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H