Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Marah

12 September 2014   06:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:55 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat kelakuan para elite politik yang tidak karuan dan lebih mementingkan nafsu kekuasaannya, kita hanya bisa marah dan mengumpat. Ingin rasanya memberikan pelajaran kepada mereka biar kapok. Kita cuma bisa marah - marah jauh dari orangnya atau paling tidak mengumbar kata - kata marah di media sosial.

Buat apa? Sebab tak akan berpengaruh pada perilaku mereka selanjutnya. Sudah kebal. Rasa malunya sudah disembunyikan dalam brankas. Tak terusik oleh gempa sekalipun. Apabila kita hanya diam saja akan dianggap tidak peduli pada keadaan bangsa. Serba salah.

#Tidakkah kita marah pada diri sendiri sebab tak sanggup menghentikan perilaku mereka yang ngawur?

Kita marah pada pejabat yang dengan suka cita merampok uang rakyat untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Ketika jadi tersangka mereka masih bisa menebar senyuman seakan tiada salah. Kita makin marah.

Kalau tidak sayang dengan televisi di depan mata yang masih kreditnya belum lunas, mungkin sudah kita lempar dengan gelar. Kesal dan marah. Pejabat tak tahu diuntung.

#Apakah kita tidak marah pada diri sendiri karena kita tidak sanggup mencegah perbuatan mereka?

Kita marah pada pemerintah karena setiap hari menemui kemacetan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Gara -gara macet setiap hari kita tergopoh-gopoh atau telat sampai ke tempat kerja. Setiap hari pergi dan pulang kerja harus marah karena macet. Bahkan kadang kita tidak tahu alasan untuk marah.

Sebab tekanan kerja dan jalanan yang padat merayap membuat perjalanan pulang semakin berbeban. Sedikit senggolan saja bisa bikin naik pitam.

#Mengapa kita tidak marah karena ketidakmampuan mengatur waktu dan mengendalikan diri?

Setiap hari inginnya marah bila melihat anak - anak yang tak bisa diam. Adik dan kakak saling berebutan makanan atau mainan. Anak - anak betah duduk berlama - lama di depan televisi sampai lupa belajar.

Melihat hal ini, sebagai orangtua marah. Kesal. Disuruh belajar masih saja duduk manis tak beranjak dari depan televisi. Teriak - teriak. Energi emosi mengalir.

Apakah marah - marah membuat anak akan menurut? Belum tentu, sebab lama - lama anak juga akan belajar marah - marah pada orangtuanya yang hanya bisa marah dalam mendidik mereka.

#Bukankah marah - marah justru menunjukkan ketidakbecusan kita dalam hal mendidik anak dengan kasih sayang, sehingga membuat tumbuh bunga - bunga cinta di hati mereka?

Ketika apa yang kita alami tidak sesuai dengan keinginan kita, maka meledaklah amarah. Kita memang boleh merencanakan segala sesuatunya dengan sempurna. namun kenyataannya apa yang tertulis atau terencana dalam benak kita akan berjalan sesuai dengan keadaan.

Begitu juga dengan segala keinginan kita. Walau sudah berusaha dengan keras ada saja keinginan yang belum menjadi nyata. Tetapi kita memilih mengumbar amarah ketika satu keinginan tak tercapai sementara sekian banyak keingin sudah menjadi nyata.

#Mengapa kita tidak memilih bersyukur dan puas hati dengan apa yang kita alami dan telah capai untuk memberikan energi lebih daripada marah - marah yang akan menguras energi kita?



Dunia semakin panas. Jangan - jangan pemanasan global terjadi akibat kita yang saban hari yang kerjanya tidak pernah lepas dari marah.

katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun