Melihat kelakuan para elite politik yang tidak karuan dan lebih mementingkan nafsu kekuasaannya, kita hanya bisa marah dan mengumpat. Ingin rasanya memberikan pelajaran kepada mereka biar kapok. Kita cuma bisa marah - marah jauh dari orangnya atau paling tidak mengumbar kata - kata marah di media sosial.
Buat apa? Sebab tak akan berpengaruh pada perilaku mereka selanjutnya. Sudah kebal. Rasa malunya sudah disembunyikan dalam brankas. Tak terusik oleh gempa sekalipun. Apabila kita hanya diam saja akan dianggap tidak peduli pada keadaan bangsa. Serba salah.
#Tidakkah kita marah pada diri sendiri sebab tak sanggup menghentikan perilaku mereka yang ngawur?
Kita marah pada pejabat yang dengan suka cita merampok uang rakyat untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Ketika jadi tersangka mereka masih bisa menebar senyuman seakan tiada salah. Kita makin marah.
Kalau tidak sayang dengan televisi di depan mata yang masih kreditnya belum lunas, mungkin sudah kita lempar dengan gelar. Kesal dan marah. Pejabat tak tahu diuntung.
#Apakah kita tidak marah pada diri sendiri karena kita tidak sanggup mencegah perbuatan mereka?
Kita marah pada pemerintah karena setiap hari menemui kemacetan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Gara -gara macet setiap hari kita tergopoh-gopoh atau telat sampai ke tempat kerja. Setiap hari pergi dan pulang kerja harus marah karena macet. Bahkan kadang kita tidak tahu alasan untuk marah.
Sebab tekanan kerja dan jalanan yang padat merayap membuat perjalanan pulang semakin berbeban. Sedikit senggolan saja bisa bikin naik pitam.
#Mengapa kita tidak marah karena ketidakmampuan mengatur waktu dan mengendalikan diri?
Setiap hari inginnya marah bila melihat anak - anak yang tak bisa diam. Adik dan kakak saling berebutan makanan atau mainan. Anak - anak betah duduk berlama - lama di depan televisi sampai lupa belajar.
Melihat hal ini, sebagai orangtua marah. Kesal. Disuruh belajar masih saja duduk manis tak beranjak dari depan televisi. Teriak - teriak. Energi emosi mengalir.