Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ubi

6 Desember 2014   03:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:56 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Adakalanya demi hal yang tidak begitu berharga atau bahkan untuk hal yang tidak berharga, engkau  rela mengorbankan hal yang begitu berharga bagi kehidupanmu. Hanya karena hal kecil, bisa menimbulkan amarah besar bagimu. Amarah yang tak engkau sadari dapat membakar seluruh kebajikanmu. Hanya karena sebuah perkataan sepele dan tak bermakna bisa membuat kita tersinggung, sakit hati dan dendam yang tanpa engkau sadari telah menguburkan kebajikanmu. [Sang Guru]

Hidup memang bukan hanya soal untung dan rugi. Tetapi ada hal yang penting soal untung dan rugi dalam hidup kita ini. Bila hidup ini seumpama urusan bisnis tentu kita perlu pandai untuk menghitung. Apa yang kita lakukan membawa keuntungan atau kerugian baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain?

Di sinilah kejernihan pikiran dan kebeningan hati kita akan berperan penting, sehingga perhitungan menghasilkan keuntungan bagi kehidupan kita. Bukankah ini memang tujuan hidup kita di dunia ini?

Namun tak dipungkiri, sebab kebodohan batin, ketidakmengertian atau ketidaksadaran demikian banyak kerugian yang kita alami. Apa yang kita lakukan alih-alih bermanfaat, justru mendatangkan kerugian, kesakitan, dan penyesalan.

Apakah Gara-gara Ubi harus Marah-marah?

Tulisan ini lahir karena masalah pohon ubi. Kebetulan di pabrik, saya ada menanam ubi jalar yang khusus untuk diambil daunnya sebagai sayuran. Selain saya nikmati sendiri juga dibagikan bagi karyawan yang mau. Sebab tidak semua tahu kelezatan  dan nilai gizi dari daun ubi ini. Baguslah, jadi saya bisa makan lebih banyak.

Saat pagi-pagi duduk di saung, mata saya menatap ada sebagian daun ubi yang sudah layu. Kenapa? Langsung saya lihat dari dekat. Oh, rupanya akarnya sudah tercabut untuk diambil umbinya. Ternyata bukan hanya satu pohon. Beberapa pohon sudah tercabut tapi posisinya dirapikan kembali.

Menemukan hal ini seketika timbul amarah dan curiga. Siapa gerangan pelakunya? Kurang ajar. Berani-beraninya. Saya yang tanam, ini malah ada orang yang enak-enak mencabutnya. Ini harus diberi pelajaran.

Kecurigaan saya langsung kepada karyawan pria yang sedang mengerjakan penggalian kolam dekat saya menanam ubi jalar tersebut. Saya tak sabar menunggu mereka masuk untuk menegur dan memarahi mereka secara langsung. Kalau tak marah, terasa sakitnya sudah  di sini. Mana tahan?

Namun di sela waktu itu, suara-suara Sang Guru tiada henti untuk mengingatkan. Kenapa masalah pohon ubi yang tak seberapa harganya harus membuat dirimu tak berharga? Ikhlaskan saja dan tanam kembali.

Seperti biasa akan muncul pembenaran untuk memuaskan ego diri ini. Ini bukan masalah harganya tapi kelancangan orang-orang itu sembarangan mengambil tanpa permisi. Kalau minta baik-baik, pasti akan diberi. Saya cuma mau marah sambil kasih pelajaran.

Pelajaran apa kalau dengan marah-marah? Apa malah tidak menyakitkan nantinya? Sayang sekali hanya masalah ubi harus mengotori kebaikan hatimu. Suara Sang Guru  masih tak bosan mengingatkan.

Iya juga sih. Tetapi kalau kemarahannya tak dilampiaskan rugi juga dong? Kalau ada marah-marahnya bisa kelihatan lebih berani.

Setelah timbang-timbang akhirnya melunak. Kalau begitu akan saya tanya baik-baik. Ketika sudah ada yang datang saya tanyakan. Beruntung rencana saya marah-marah tidak jadi. Masalahnya mendapat informasi yang tak terpikirkan oleh saya sebelumnya.

Rupanya yang mencabut pohon-pohon tersebut adalah karyawan yang wanita. Tak disangka. Andai saya langsung marah-marah kepada karyawan yang pria. Dua kesalahan langsung terjadi. Rugi berat.

Betapa ruginya, cuma karena ubi jalar yang tak seberapa itu harus membayar dengan mengotori kebajikan hati yang sedemikian berharga. Untung.

Apakah hanya Sebuah Kata 'Bodoh' harus Membakar Kebaikan?

Apakah  pernah mengatai kita 'bodoh!'? Bagaimana reaksi kita? Apakah darah langsung mendidih dan membalas? Bisa jadi! Atau kita menganggap justru yang mengatakanlah yang bodoh, sehingga menghiraukan saja.

Apakah sebuah perkataan 'bodoh' otomatis akan membuat kita langsung menjadi bodoh? Tergantung bagaimana kita menyikapi. Bisa jadi memang bodoh apabila kita menyikapinya dengan melakukan hal yang bodoh. Membalas dengan mencaci-maki orang yang mengatakan kita bodoh itu.

Namun apabila emosi kita cerdas pasti tidak akan serta-merta menanggapinya dengan membalas melakukan hal yang bodoh. Oleh kata-kata yang tak bermakna kita mudah tersinggung dan sakit hati, sehingga menyimpan dendam. Ke mana-mana kita bawa. Ketika berdoa pun tak mampu menghapuskan dendam ini. Mengerikan, bukan?

Jangan kita sepelekan, walau setitik dendam akan sangat berpengaruh pada keseimbangan hati. Seperti juga walau setitik debu tersembunyi di dalam mata pasti akan sangat mengganggu sekali. Setitik debu yang tak berharga, namun bisa membuat mata kita yang berharga tak bisa berfungsi dengan baik.

Bicara yang Tak Ada Arti Bahkan Menyakiti

Sebab tak bisa menjaga mulut kita begitu mudahnya berkata-kata yang tak ada artinya bagaikan membuang ludah. Perkataan yang kita anggap sepele justru tanpa sadar melukai perasaan orang lain. Luka yang menimbulkan sakit hati.

Tanpa sadar dengan mudahnya berkata atau bercanda yang tiada makna lama-lama menguburkan kebaikan hati kita. Walau perkataan yang kita ucapkan seakan tak berguna namun akan tersimpan mendalam di hati orang lain bagaikan duri yang menyakitkan.

Luka di tangan masih bisa dikebat, tapi luka di hati adalah susah diobat. Akibat kata-kata yang tak terawat, diri sendiri yang menanggung akibat.

Walau hanya sebuah amarah atau pun kata yang mungkin kita anggap tak apa-apa. Berapa banyak kebajikan yang musnah? Berapa banyak pahala yang sirna? Sungguh merugi, bukan?

katedrarajawen@pembelajarandarisebuahperistiwa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun