Mohon tunggu...
Katateje
Katateje Mohon Tunggu... Pramusaji - Buruh Harian

Kerja, Nulis, Motret

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Once Upon A Cup of Coffee with Love

31 Juli 2023   03:36 Diperbarui: 31 Juli 2023   06:15 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bahwa cinta itu rahasia manusia dengan Tuhannya. Sampai kapan cinta datang kita tidak akan tahu, akan berakhir dan berlabuh dimana"

            Hujan begitu deras memaku di Kudus. Senja yang surut di pertengahan Maret masih selalu berkabut. Seharusnya aku sudah menuju pulang sambil menyusuri jalanan kota. Mataku takjub melihat jutaan bulir air, tentu tak dapat dapat kuhitung bintik rinai hujan yang luruh jatuh. Aku seolah menjelma menjadi pecundang yang sehari-hari berkutat dengan pertanyaan yang membosankan. Sebelum akhirnya aku menemukan tempat dan suasana untuk mengalahkan getirnya rasa di dalam dada. 

Terlihat diluar sana, dibalik kaca mobilku, orang lalu lalang berpayung dan berteduh untuk menghindari hujan di hari ini. Sambil menginjak gas mobilku yang mengitari jalanan yang terlalu sering aku lewati. Hampir setiap saat kusinggahi sebuah cafe untuk menghangatkan tubuh dan pikiranku.

            Sampai di parkiran kafe aku beranjak turun dan disambut pegawai parkir sambil menenteng payungnya.
            "Hujan seperti ini kok baru pulang Om", kata Janur pegawai parkir di Gravitasi nama coffeeshop di kota kerjaku.  
            "Eh...siapa yang pulang, mau ngopi gundul?' kataku.
            "Ah...gitu aja marah Om Eko." Sambil tertawa.

Ya, aku memang sudah begitu akrab dengan karyawan di kafe ini. Karena hampir setiap saat aku selalu ngopi ataupun makan siang dengan rekanan kantor. Sampai dikasir aku pesan espresso dan roti panggang coklat.

            "Tumben pesan espresso Om?"
            "Lagi galau ya hatinya, jangan yang pahit Om, harusnya yang manis?" kata kasir centil itu.
            "Hai...tahu apa kamu Melati yang selalu bikin wangi?" Aku menyebut seperti itu karena nama kasir itu Melati.
            "Ha...ha...ha... Om kok marah?"
           "Tenang aja nanti espressonya manis, karena yang buat dik Mariska?"         

            Hah...kalau aku pikir kenapa aku bisa segila ini. Atau karena aku terlalu akrab dengan orang-orang di coffeshop ini. Hampir semuanya aku kenal dan membuat mereka kalaupun berseloroh seperti bukan dengan pelanggan. Tapi aku tidak ambil pusing dengan kata-kata mereka semua. Toh, mereka masih bersikap baik denganku dan terkadang jika ngobrol sejenak, bisa mengendorkan urat syaraf yang lagi penat.

            Ya, Mariska adalah seorang barista cantik di cafe ini yang terkadang membuatku tidak bisa berkutik. Orangnya tinggi semampai, berambut panjang agak kemerah-merahan dan seorang penari balet di Kudus. Usianya baru menginjak 21 tahun. Usia yang sedang mekar-mekarnya jika itu sekuntum bunga.

            "Secangkir espresso dan roti panggang coklat untuk Om Eko?" kata Bendol, seorang waitress yang ramah.
            "Terimakasih ya Bendol." Kataku."
            "Bendol, tolong kasihkan kertas ini ke Mariska ya?"
            "Siap Om." Kata Bendol sambil berlalu masuk menuju bar. 

             Anak itu lalu beranjak menuju bar dan memberikan secarik kertas dari bill yang di sebaliknya aku tuliskan sesuatu buat barista mungil cantik itu. Aku melihat dari kejauhan, Mariska membaca pesan yang aku tuliskan. Sesaat kemudian membunyikan bel dimeja bar. Kemudian aku beranjak berjalan menuju meja bar, sedangkan kopi dan snack yang aku pesan dibawakan salah satu pelayan kafe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun