"Pulang tak memutus rindu bahkan tak mampu menghapus kelu"Â
Kuusap benda pipih yang sedang dalam genggaman. Saat aku melihat story dari adikku yang menceritakan seorang ayah yang kehujanan dari ladangnya. Kemudian terselip foto Ayahku yang sudah mulai menua dengan kegiatan kecilnya dari seorang pensiunan yang hidup di kampung. Seketika aku menerawang jauh mengingat masa-masa kecilku bersama adik-adikku. Berangkat dari keluarga sederhana yang jauh dari keramaian kota. Kehidupan seorang PNS yang boleh di kata jauh dari kesan glamour.
Tiba-tiba ada suara video call masuk dan kutekan tombol berwarna hijau dan terlihat wajah cantiknya ibuku dari seberang dengan suara lembutnya.
"Assalamualaikum, Le. Piye kabarmu?" kudengar suara ibu di seberang.
"Waalaikumsalam, Bu. Alhamdulillah sehat," ujarku sambil menggeser posisi laptopku yang di meja.
"Bagaimana dengan cucu-cucu Ibu dan menantuku. Semoga mereka semua sehat?" ujar Ibu.
Aku mengangguk perlahan.
"Mereka sehat semua, kelihatannya banyak kegiatan di kuliahnya Bu," jawabku.
"Ibu dan bapak sehat-sehat kan?" tanyaku.
"Jangan lupa jaga pola makannya?
"Udah.....Ibu tadi masak sambal tumpang seperti kesukaanmu. Andai saja kamu ada di sini, pasti makanmu lahap Ko," sahut ibu dengan raut wajah yang tampak lelah.
"Bapakmu masih di ladang menanam kacang belum pulang dari pagi,"
"Kalau suruh istirahat sejenak tidak pernah mau."
"Ya, Ibu bilang saja ke bapak jangan terlalu kecapekan," kataku pelan.
Aku mulai hanyut oleh suasana yang menghinggapiku. Bagaimanapun, aku rindu pada bapak dan ibu. Rindu masakan lezatnya ibu. Rindu tentang cerita-cerita masa kecilku dan segudang kerinduan lainnya yang menumpuk. Namun, apa daya setelah aku ambil pensiun dini. Aku harus pandai-pandai mengatur waktu dan keuangan untuk keluargaku dan sekedar pulang. Sejak menikah, bisa dihitung dengan jari kepulanganku ke kampung halaman. Aku terlalu menyibukkan diri dengan beragam aktivitas sebagai karyawan di salah satu restoran di tempat tinggalku sekarang. Sementara itu, istriku yang berstatus sebagai seorang pegawai di perusahaan telekomunikasi. Hampir seluruh waktunya berkutat dengan dunia telekomunikasi, customer dan sejenisnya. Setiap kali ingat rumah, aku berusaha menyempatkan diri whatssapp atau telepon meskipun hanya sebentar. Bapak dan ibu tinggal sejauh 148 km dari tempat tinggalku sekarang. Bapak dan ibu di temani adikku bersama suami dan kedua anaknya.
"Kenapa kamu terdiam, Ko?" suara ibu membuyarkan lamunanku.
"Tidak apa-apa, Bu. Tetuko hanya membayangkan betapa lezatnya sambal tumpang dengan daun adas juga sambal korek buatan ibu," kataku berbohong dengan sedikit senyum. Ibu juga tersenyum dan sedikit obrolan. Tidak berapa lama, sambungan telepon kututup. Karena ibuku bilang kalau bapak baru saja pulang dari ladang.
==========
Setiap telepon atau video call dengan ibu, ada rasa rindu yang meletup. Rindu untuk pulang sekedar menengok kampung halaman. Namun, pekerjaanku dan istriku serta setiap keterbatasan melenyapkan niatku untuk sekedar menjenguk tanah kelahiran. Kedua anakku, Faaz dan Awan saat inipun mereka sudah dewasa dan keduanya sudah duduk di bangku kuliah. Aku selalu berusaha memberitahu kedua anakku untuk berusaha berkirim kabar pada kakek dan neneknya. Aku selalu membiasakan kedua anakku untuk berkomunikasi dengan sepupunya, anak dari adik-adikku. Sebeneranya aku merasakan betapa persaan ibu sangat merindukan cucunya yang sudah beranjak dewasa.
Setiap ada niat pulang, ada saja alasan yang menahan langkah kakiku. Terkadang, pekerjaan istriku May yang menumpuk membuatku urung untuk pulang. Tak jarang pula karena aku di kota yang jadi satu dengan mertua, sebab istriku putri kesayangan mertuaku. Jadi perlu berbagai alasan untuk membujuk pulang. Terkadang aku hanya pasrah dari segala situasi yang ada. Pernah tiba-tiba bapak dan ibu bersama keluarga adikku datang ke kotaku. Dalam hatiku, seharusnya aku sebagai anakmu yang berkunjung pak, bu...gumamku dalam hati. Kendati aku tanya, karena begitu kangennya terhadap cucunya. Aku maklum itu, niatku untuk pulang hanya tinggal angan belaka.
===========
"Kamu tidak kangen rumah?" ucap ibu minggu lalu yang masih terngiang hingga kini di kepalaku.
"Setiap lebaran kamu pulang terkadang sendirian, tanpa anak dan istrimu?"
"Bapak sama ibu juga kangen dengan mereka semua."
"Mereka semua kangen Bu, tapi harus gimana lagi. Bapak dan ibu jangan bersedih. Sekarang, eranya sudah modern, Aku, May dan anak-anak akan selalu berkirim kabar dengan Ibu. Bisa telepon ataupun video call kapan saja. Saat video call bapak dan ibu tidak hanya bisa mendengar suara kita, tetapi juga bisa melihat secara langsung wajahku atau istriku dan cucu-cucu," jawabku menghibur. Kuperhatikan ibu sembab karena menahan air mata rindu yang mendalam.
"Harapan Tuko, bapak dan ibu sehat-sehat saja itu sudah cukup buat kita disini," kataku lagi. Ibu nampak tersenyum. Sangat kentara garis-garis sisa kecantikannya terlukis di wajah. Guratan yang menceritakan betapa panjang, berliku serta bersahajanya ibu dalam menempuh lika-liku kehidupan. Terkadang, setelah menelpon ibu ada keingina pulang. Namun setelah itu, hatiku kembali goyah.
Aku perlu waktu lebih, perlu persiapan lebih untuk sekedar pulang. Karena semenjak aku pensiun dini, karena strategi perusahaan. Hal itu yang membuatku berpikir keras untuk kehidupan keluargaku tetap berjalan.
"Mi, lebaran nanti semoga pulangnya tidak di--cancel, ya?" ujarku pada istriku yang sibuk dengan laptopnya.
Suaraku membuyarkan konsentrasi pekerjaannya. Istriku menatapku dengan tajam, antara keraguan dan keinginan. Karena memang ada hal yang terkadang tidak bisa diungkapkan, karena berbagai hal.
"Pa, kita memang ada kalanya aku merasa selalu terhimpit sesuatu untuk tidak bisa sekedar pulang?"
"Tapi aku usahakan ya, barangkali lebaran nanti kita bisa pulang." Begitu istriku berkata dengan pelan.
Aku tahu dari sorot matanya sebenarnya adalah sebuah keraguan yang tersirat.
Istriku juga menceritakan, kalau menelepon ibu juga menceritakan kegiatan kedua anak-anakku.Faaz dan Awan selalu banyak kegiatan di kampus. Mereka berdua selalu sehat dan menceritakan prestasi cucunya. Dengan menceritakan cucunya tentang keberhasilannya, istriku juga mengatakan itu berkat doa dari bapak dan ibu.
"Papa...kok diam? Papa tidak apa-apa kan?" ujar May kala aku sibuk dengan buku bacaanku. Aku tahu ia cemas melihatku jika terdiam terlalu lama. Aku merasakan, kalau aku belum bisa membahagiakan istriku, anak-anakku dan bapak ibuku. Di saat itulah, aku sangat merindukan kedua anakku, yang jauh karena menempuh kuliah di Surabaya. Sering aku meneteskan air mata menahan rindu pada anak-anakku, bapak ibuku dan berpikir bagaimana membahagiakan istriku.
"Tak apa-apa Mi, tapi papa kangen," ujarku dengan suara tertahan.
"Kapan-kapan jika ada waktu kita pulang atau nengok anak-anak."
"Mami tidak perlu khawatir," ujarku.
Terkadang saat malam mulai senyap dan istriku tertidur pulas, aku bisa menangis. Karena selama ini akau tidak mampu berbuat banyak dan belum bisa memberikan harapan yang terbaik buat mereka semua. Aku hanya bisa berharap dari segala doa untuk anak-anakku Faaz dan Awan, kelak mereka lebih sukses daripada bapanya ini.
Sebebnarnya bapak ibu cukup bangga dengan aku dan adik-adikku. Dulu pernah dibanggakan sebagai seorang bankir di bank swasta yang cukup terkenal. Adikku seorang guru bersuamikan seorang konsultan yang mumpuni, serta adikku yang terakhir suaminya salah satu pimpinan BUMN di timur Indonesia. Sementara aku? Sampai saat ini belum ada sesuatu yang bisa di banggakan, kecuai dari jerih payah kedua anakku yang punya prestasi di kampusnya.
Terkadang, aku merasa hidup tak lagi seindah dulu. Aku yang hanya seorang penulis freelance karyawan dari resto sebagai penyambung kekuatan otakku agar tidak punah. Sejak kecil, bapak ibuku selalu menanamkan untuk tidak pernah putus asa. Bapak juga selalu berkata, berusahalah sekerasmu namun doa itu yang akan menentukan jalan hidupmu. Jangan pernah merasa tidak adail, tidak berguna. Karena perjalanan yang kau tempuh, hikmah tidak akan datang secara tiba-tiba. Hatiku perih bagai tertusuk duri.
Aku merasakan bapak dan ibu begitu butuh kehadiranku, istriku dan anak-anakku. Kusandarkan tubuh ini sambil menatap foto demi foto yang tersimpan di galeri handphone. Namun, entah kapan aku bisa memeluk bapak dan ibuku. Keraguan, kesepian dan kelemahan yang selalu menyelimuti hari-hariku untuk sekedar pulang. Jika aku rindu bapak ibuku, hanya bisa sekedar memandang fotonya. Di kala aku rindu anak-anakku, itupun hanya bisa memasang story di whatsapp dan instagramku. Tak kuasa aku menahan rindu yang menyergapku.
Lebaran kemarinpun, aku hanya bsa pulang bersama Faaz tidak dengan May istriku dan Awan ankku. Karena waktu itu bersamaan dengan kegiatan Awan yang tidak bisa di tunda. Saat itupun guratan kesedihan terpancar dari wajah bapak dan ibuku, yang menahan rindu untuk bertemu dengan menantu dn cucunya. Foto-foto yang kukirim untuk bapak dan ibu tidak mampu mengobati kerinduannya.
=========
Aku tidak berharap banyak apakah nanti lebaran bisa pulang bersama keluargaku atau tidak Aku sudah berusaha untuk memberitahu pada istri dan kedua anakku, hal yang tak bisa kulepaskan. Papa sudah tidak punya apa-apa, papa hanya punya rindu yang telah menjadi racun. Kalaupun terobati, hanya kita semua pulang bersama untuk memeluk bapak dan ibu. Bapak dan ibu juga ingin memeluk Faaz dan Awan juga kamu May....satu-satunya menantu perempuan ibuku.
Walaupun dengan menemui bapak dan ibu, rindu itu apakah akan mengobati kerinduanku dan rasa bersalah akan hilang? Yang pasti bapak dan ibu aku sebagai anaknya walaupun sedewasa apapun aku....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI