"Kamu tidak kangen rumah?" ucap ibu minggu lalu yang masih terngiang hingga kini di kepalaku.
"Setiap lebaran kamu pulang terkadang sendirian, tanpa anak dan istrimu?"
"Bapak sama ibu juga kangen dengan mereka semua."
"Mereka semua kangen Bu, tapi harus gimana lagi. Bapak dan ibu jangan bersedih. Sekarang, eranya sudah modern, Aku, May dan anak-anak akan selalu berkirim kabar dengan Ibu. Bisa telepon ataupun video call kapan saja. Saat video call bapak dan ibu tidak hanya bisa mendengar suara kita, tetapi juga bisa melihat secara langsung wajahku atau istriku dan cucu-cucu," jawabku menghibur. Kuperhatikan ibu sembab karena menahan air mata rindu yang mendalam.
"Harapan Tuko, bapak dan ibu sehat-sehat saja itu sudah cukup buat kita disini," kataku lagi. Ibu nampak tersenyum. Sangat kentara garis-garis sisa kecantikannya terlukis di wajah. Guratan yang menceritakan betapa panjang, berliku serta bersahajanya ibu dalam menempuh lika-liku kehidupan. Terkadang, setelah menelpon ibu ada keingina pulang. Namun setelah itu, hatiku kembali goyah.
Aku perlu waktu lebih, perlu persiapan lebih untuk sekedar pulang. Karena semenjak aku pensiun dini, karena strategi perusahaan. Hal itu yang membuatku berpikir keras untuk kehidupan keluargaku tetap berjalan.
"Mi, lebaran nanti semoga pulangnya tidak di--cancel, ya?" ujarku pada istriku yang sibuk dengan laptopnya.
Suaraku membuyarkan konsentrasi pekerjaannya. Istriku menatapku dengan tajam, antara keraguan dan keinginan. Karena memang ada hal yang terkadang tidak bisa diungkapkan, karena berbagai hal.
"Pa, kita memang ada kalanya aku merasa selalu terhimpit sesuatu untuk tidak bisa sekedar pulang?"
"Tapi aku usahakan ya, barangkali lebaran nanti kita bisa pulang." Begitu istriku berkata dengan pelan.
Aku tahu dari sorot matanya sebenarnya adalah sebuah keraguan yang tersirat.