Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada Serentak 2020 dan Problem Akut Demokrasi

2 November 2020   12:56 Diperbarui: 2 November 2020   13:09 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Adam/katapublik

Hoaks perlu diwaspadai karena hoaks bukan hanya menyebarkan berita bohong belaka. Hoaks dijadikan pembentukan opini publik dengan judul yang bombastis, bahkan menjadi alat propaganda dan provokasi dalam strategi kampanye untuk menjatuhkan lawan politiknya. Ini yang akan berpotensi memicu perpecahan dan konflik horizontal. 

Hoaks sangat mudah tersebar apabila disebarkan oleh influencer (pempengaruh) dan buzzer (pendengung/tentara siber). 

Bagi mereka yang memiliki nalar kritis tentu bisa menilai sebuah informasi yang diterimanya. Namun, bagi mereka yang awam, hoaks gampang dipercaya karena kurangnya informasi yang berdasarkan fakta serta kondisi emosi yang berlebihan hingga mengabaikan rasio.

Buzzer yang menyebarkan hoaks lebih banyak daripada penggerak anti-hoaks. Kenapa? Karena menjadi buzzer layaknya sebuah pekerjaan profesional. 

Salah seorang teman saya di Jakarta dengan bangga mengaku bekerja sebagai tim buzzer untuk salah satu pasangan calon sebuah provinsi di daerah pada Pilkada serentak 2018 silam, ia digaji dengan bayaran yang cukup untuk biaya hidup di Jakarta. 

Tim buzzer tersebut menggunakan facebook, ia sendiri memegang sampai sepuluh akun anomim, masuk ke berbagai grup, ia dengan luwes berganti kepribadian dari satu akun ke akun lainnya dan tak segan-segan menyebarkan hoaks. Jadi, banyaknya hoaks merupakan pesanan salah satu tim pasangan calon dan itu menjadi lahan bisnis.

Upaya melawan hoaks pun digalakan. Mulai dari instansi pemerintah seperti direktorat siber Polri, KPU menyediakan klarifikasi terhadap hoaks dan e-pelaporan Kemenkominfo hingga portal media turut menyediakan kanal anti-hoaks. 

Upaya itu patut diapresiasi dan dimaksimalkan dengan baik. Namun, itu tak ubahnya seperti memotong ranting bukan mencabut pohon sampai ke akar-akarnya. 

Artinya, upaya tersebut hanya menyampaikan sebuah informasi yang ternyata hoaks dan polisi menangkap penyebarnya, tetapi ada potensi untuk tumbuh kembali merebaknya hoaks karena ada orang dibalik layar penebar hoaks.

Kampanye anti-hoaks saja tidak cukup. Perlu gerakan yang kongkrit untuk mengonter hoaks dengan cara yang benar, baik dan tepat sasaran. Pertama, edukasi literasi digital. 

Peran aktif pemerintah, tokoh masyarakat, agama, komunitas dan organisasi sangat dibutuhkan untuk pendidikan literasi digital secara sitematis dan berkesinambungan terhadap seluruh elemen masyatakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun