Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Miris, Tolak Pilkada tapi Demo Berkerumun

14 Oktober 2020   20:25 Diperbarui: 14 Oktober 2020   20:30 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto aksi 212 tolak UU Cipta Kerja namun isinya revolusi turunkan Presiden Jokowi - Istimewa

Desakan menolak Pilkada karena berpotensi membuat kerumunan orang saat kampanye dan ketika pemungutan suara terbantahkan dengan regulasi yang mengatur metode kampanye dan seluruh tahapan Pilkada dengan protokol kesehatan. 

Mirisnya, banyak kelompok yang selama ini menuntut Pilkada ditunda agar tidak menjadi klaster penyebaran Covid-19, justru memobilisasi massa untuk aksi menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. 

Bukan maksud penulis melarang Hak Demokrasi warga negara atau kelompok untuk berserikat, mengeluarkan pendapat. Namun, sungguh sangat miris jika selama ini mendesak Pilkada ditolak, namun aksi demonstrasi dengan berkerumun.

Kita tahu bersama, kurva Corona tak kunjung landai, pandemi terus mengintai. Karena itu, tak dapat dipastikan kapan berakhir apalagi vaksinnya belum ada kepastian. Ikhtiar terus dilakukan untuk bisa mengakhiri pandemi yang sukar di lawan. 

Kondisi ini tentu butuh perhatian khusus dan ekstra penanganan yang sangat serius. Pun negara juga harus optimis bahwa pandemi akan sirna walaupun tak dapat dipastikan kapan berakhirnya. 

Untuk itu, harus ada spirit kolektif menyelesaikan pandemi Corona, paling tidak publik punya kesadaran menjaga pola hidup sehat, disiplin serta patuh terhadap protokol kesehatan. 

Hal tersebut tentu sangat efektif untuk mencegah eskalasi penyebaran dan penularan virus yang ekstra mematikan tersebut. 

Namun jangan lupa, sekalipun dalam suasana pandemi Corona, kita tidak boleh abai terhadap agenda kebangsaan yang juga tak kalah pentingnya, yaitu momentum suksesi kepemimpinan di tingkat lokal atau yang lazim disebut Pilkada serentak sebagai ritus politik lima tahunan yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang.

Musim pandemi Covid-19 tak jadi halangan untuk tidak menggelar sirkulasi kepemimpinan elit lokal tersebut. 

Sebesar apa pun tantangan dan rintangannya, ritual lima tahunan itu tidak boleh ditunda karena tak ada yang bisa menjamin apalagi memastikan Corona sirna dari bumi Indonesia. 

Argumen bahwa pilkada melibatkan kerumunan massa potensial meningkatkan eskalasi penyebaran Covid-19 justru kontradiksi dengan realitas yang terjadi di lapangan. 

Faktanya meski dalam suasana pandemi, masifitas kerumunan massa tak dapat dihindari. Misalnya saat ini marak terjadi aksi demonstrasi yang melibatkan ribuan orang yang sebenarnya amat potensial menambah klaster penyebaran dan peningkatan Covid-19. 

Di pelbagai daerah tak dapat dibendung ribuan massa bergumul melakukan aksi demontrasi menolak Omnibus Ciptaker yang menimbulkan resistensi dan api perlawanan dari rakyat. 

Tentu kerumunan massa aksi demonstrasi tersebut bisa dipastikan tidak mengikuti prosedur protokol kesehatan. 

Bisa dibayangkan jika itu terus berlanjut sudah pasti jauh lebih berbahaya dibanding perhelatan pilkada yang menjunjung tinggi disiplin dan taat aturan protokol kesehatan, apalagi selama proses pesta rakyat tersebut berlangsung diharuskan mengikuti aturan main yang tertuang dalam PKPU, seperti mekanisme kampanye terbuka telah diganti dengan model daring. 

Artinya, bila muncul desakan penundaan pilkada yang digaungkan sejumlah pihak termasuk dua ormas Islam, yaitu NU dan Muhammadiyah tak dapat diterima menurut akal sehat.

Akal sehat mengatakan bahwa argumen dan alasan menunda pilkada tidak rasional bahkan tidak berbanding lurus dengan realitas di lapangan. 

Dengan demikian, tidak tepat bila dikatakan bahwa menggelar pilkada di tengah suasana pandemi corona potensial menambah klaster penyebaran virus corona karena melibatkan banyak orang, padahal kerumunan massa justru tak dapat dihindari sekalipun tidak dalam kondisi menggelar pilkada, bahkan kerumunan massa dalam aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja jauh lebih massif dan tak bisa dikontrol pergerakannya. 

Demikian juga kerumunan massa yang terjadi di Pasar. Pada titik inilah, sejatinya desakan penundaan pilkada sebaiknya disertai tawaran solusi atau jalan tengah, tidak cukup berteriak mendesak pemerintah menunda pesta rakyat itu.

Momentum Adu Gagasan

Sebagai ritus politik, pilkada adalah sarana trasformasi nilai-nilai demokrasi sekaligus wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. 

Karena itu, partisipasi rakyat dalam pilkada adalah keniscayaan. Itu sekaligus jadi paramiter keberhasilan sebuah kompetisi politik. Keberhasilan pilkada di tengah pandemi setidaknya ditentukan oleh dua hal, pertama meningkatnya partisipasi pemilih, kedua tidak diwarnai narasi hoaxs dan SARA, ketiga berhasil mencegah claster penyebaran pandemi virus corona. 

Parameternya, paling tidak semua elemen yang terlibat dalam suksesi pilkada aman, sehat, dan tidak tertular virus corona. 

Ihwal, siapa pun yang terpilih dalam pilkada kali ini tentu tantangannya jauh lebih berat bahkan lebih kompleks. 

Tantangan resesi ekonomi, kesenjangan, dan tantangan menyelesaikan pandemi corona. Oleh karena, pilkada kali ini jadi momentum adu gagasan mengenai penyelesaian pandemi corona, sekaligus ajang menawarkan visi-misi serta flatform yang terukur dan terarah di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Memang bukan perkara mudah menggelar pilkada dalam suasana pandemi, dan tak cukup bermodalkan optimisme untuk mewujudkan pilkada sukses. 

Tetapi butuh keterlibatan yang maksimal dari semua pihak terutama yang punya peran aktif, semisal penyelenggara yang terdiri dari KPU, Bawaslu, Kepolisian untuk menjaga dan mengamankan pilkada sukses. 

Sementara rakyat punya "kewajiban moral" menyeleksi dan memilih pemimpin secara langsung sehingga yang terpilih sejalan dengan kehendak dan kemauan rakyat.

Pilkada bukan semata-mata soal regenerasi kepemimpinan, tetapi yang jauh lebih penting adalah soal kelangsungan pemerintahan di suatu daerah yang mengalami vacum of power. 

Dalam konteks legitimasi serta proses pengambilan keputusan dan kebijakan (decision making and policy processes) seorang Plt (Pelaksana Tugas) kewenangannya sangat terbatas selain faktor legitimasinya tidak kuat. 

Tentu hal tersebut akan menghambat akselerasi pembangunan terhambatnya kesejahteraan rakyat. 

Oleh sebab itu, menunda pilkada bukan solusi tetapi justru mendatangkan masalah baru. Alasan mendesak pilkada ditunda sangat subyektif bahkan kontradiksi dengan realitas yang terjadi saat ini, maka kita tetap komitmen pada kesepakatan awal yaitu melaksanakan pilkada sehat, rakyat kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun